tirto.id - “Selama aku masih hidup, aku akan terus menjaga harapan bahwa putriku juga masih hidup. Dan dia harus dikembalikan oleh para si bodoh itu!”
Senin (17/9) menjadi hari besar bagi Erlinda Cadapan. Upayanya mencari keadilan untuk putrinya yang hilang, Sherlyn, mulai mendapati titik terang. Pasalnya, Pengadilan Bulacan resmi menetapkan Jovito Palparan, pensiunan jenderal Angkatan Darat Filipina, sebagai dalang di balik raibnya Sheryl.
Selain Palparan, sidang yang dipimpin Hakim Alexander Tamayo itu juga menetapkan Letkol Felipe Anotado dan Sersan Edgardo Osorio bersalah. Ketiganya dituntut hukuman seumur hidup dan denda sebesar 300 ribu peso ($5.500).
Mengutip Rappler, Sheryl lenyap sejak 2006. Ia diculik bersama satu temannya yang lain, Karen Empeno. Keduanya diambil paksa dari rumah kontrakannya di Hagonoy, 36 km sebelah utara Manila. Tak cuma diculik, keduanya diyakini juga telah diperkosa, disiksa, dan kemudian dibunuh oleh tentara.
Semasa hidup, Sheryl dan Karen dikenal aktif dalam aktivisme politik kiri. Karen bergabung dengan organisasi sayap kiri, League of Filipino Students, sedangkan Sheryl anggota Anakbayan. Sebelum lenyap, dua mahasiswa University of The Philippines Diliman itu sempat terlibat penelitian dan pengorganisasian bersama petani lokal Bulacan.
Sehubungan dengan kasus tersebut, Istana Malacañang mengatakan bakal menghormati putusan pengadilan. Hal serupa juga diungkapkan Angkatan Darat Filipina (AFP) yang berupaya mentaati “segala aturan hukum yang ada.”
Usaha membawa kasus penculikan Sherlyn-Karen sudah dimulai sejak 2011. Waktu itu, gabungan LSM dan kelompok sayap kiri macam Desaparecidos, Karapatan, End Impunity Alliance, serta Persatuan Pengacara Rakyat Nasional menuntut pengadilan menahan Palparan. Namun, usaha mereka baru terealisasi tiga tahun berselang kala Palparan berhasil ditangkap usai kabur bertahun-tahun.
Mengganyang Komunis
Praktik melenyapkan aktivis kiri—dan siapapun yang dicap komunis—seperti yang dilakukan Palparan sudah berlangsung lama dan mengiringi jalannya pemerintahan Filipina. Sheryl maupun Karen bukanlah korban pertama.
Pada tahun ketika Sheryl-Karen hilang, Elena Mendiola, Sekjen dan Koordinator Regional Bayan Muna di Echague tewas setelah ditembak sebanyak enam kali di kepalanya. Tiga tahun kemudian, 2009, Fermin Lorico, petani sekaligus aktivis kiri, juga bernasib sama: ditembak tatkala ia mengendarai sepeda motor.
Pembunuhan politik masih berlangsung pada 2010. Korbannya: Fernando Baldomero, mantan anggota NPA—sayap bersenjata Partai Komunis Filipina (CPP)—yang lantas jadi anggota dewan kota Lezo. Ia tewas diterjang timah panas saat hendak mengantar anaknya yang berusia 12 tahun ke sekolah.
Aksi-aksi brutal semacam ini mulai meningkat sejak Gloria Macapagal-Arroyo naik takhta pada 2001. Selama ia menjabat, serangkaian pembunuhan di luar proses hukum dan penghilangan paksa terhadap politisi sayap kiri, aktivis, jurnalis, pendukung hak asasi manusia, oposisi politik, sampai pendeta vokal berlangsung masif. Pelakunya: aparat berseragam dan bersenjata, alias militer dan polisi.
Dalam “Report on the Philippine Extrajudicial Killings (2001-August 2010)” (PDF, 2010) disebutkan selama 2001 sampai 2010, terdapat 305 insiden pembunuhan di luar proses hukum dengan korban sebanyak 390 orang. Mirisnya, hanya 161 kasus (56%) yang diajukan ke jaksa guna diselidiki.
Laporan yang sama juga memperlihatkan bahwa 32% dari total korban pembunuhan di luar proses hukum merupakan anggota kelompok aktivis macam Bayan Muna dan Anakpawis. Sementara 8% lainnya adalah mereka yang dicurigai punya hubungan dengan NPA dan CPP.
Usai Gloria lengser, estafet kepemimpinan jatuh ke Benigno Aquino III, putra Corazon Aquino yang terpilih sebagai presiden tak lama setelah suaminya, Benigno Aquino, Jr., terbunuh dan memicu gerakan People Power yang menggulingkan diktator Marcos.
Benigno terang-terangan ingin mengakhiri praktik pembunuhan di luar hukum melahirkan secercah harapan atas kualitas perlindungan atas HAM lebih baik. Sayang, janji kampanye Benigno tak terwujud begitu ia terpilih dan memerintah.
Laporan Human Rights Watch berjudul "No Justice Just Adds to the Pain”: Killings, Disappearances, and Impunity in the Philippines" (2011) menjelaskan bahwa sejak Benigno pertama menjabat pada 30 Juni 2010, militer Filipina terus terlibat aksi pembunuhan di luar hukum serta penghilangan paksa dengan motif politis yang kuat.
Targetnya adalah siapapun yang dicurigai punya afiliasi dengan kelompok kiri, kendati tak ada buktinya. Militer, catat Human Rights Watch, kenyataannya menyasar orang-orang yang mendukung reformasi agraria dan menolak kekerasan militer.
Keadaan makin runyam kala kepolisian gagal melakukan investigasi secara tuntas, menyeluruh, dan tidak memihak. Belum lagi soal minimnya kemampuan—dan keinginan—untuk membawa pelaku ke pengadilan. Saksi kasus pembunuhan maupun penghilangan juga tak jarang diancam dan dilecehkan sehingga menutup rapat mulut mereka. Ditambah, lembaga-lembaga yang bertugas mempromosikan pentingnya perlindungan HAM justru seolah memalingkan muka.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch, ada tujuh kasus pembunuhan di luar hukum dan tiga penghilangan paksa aktivis kiri yang melibatkan militer sejak Benigno menjabat. Militer menolak disalahkan dan pemerintah pun tak ingin mengusut kasus-kasus tersebut secara tuntas.
Bara Lama
Catatan sejarah kanal Mapping Militant Organizations yang dikelola Stanford University menyebutkan pemberontakan kelompok komunis Filipina yang tergabung dalam CPP (Partai Komunis Filipina), NPA (sayap militer CPP), dan NDF (front sipil partai komunis) bisa dirunut mulai 21 Agustus 1971. Kala itu, NPA melakukan serangan berdarah dengan menggasak kampanye Partai Liberal di Manila. Dua buah granat yang dilempar ke panggung meledak dan menewaskan 9 orang serta melukai 95 lainnya.
Pada 21 September 1972, guna menekan aksi militan kelompok komunis tak terulang lagi, Presiden Filipina Ferdinand Marcos menerapkan status darurat. Dampaknya: NPA bergerilya ke belantara hutan. Hal tersebut membuat mereka, pada 1974, melancarkan operasi taktis pertama di Calbiga, Samar, dengan menyergap patroli tentara dan menyita persenjataannya.
Keadaan itu rupanya tak membuat kelompok komunis kehilangan popularitas. Selama 1970-an dan 1980-an, NPA (bersama CPP dan NDF) mendapat dukungan dari ribuan sukarelawan. Termasuk di dalamnya adalah anak-anak muda perkotaan sampai pedesaan yang tertarik pada gagasan komunis serta muak dengan kediktatoran Marcos.
Sementara di luar negeri, dukungan yang ditujukan kepada mereka pun juga mengalir. Bantuan diberikan dalam bentuk uang, persenjataan, sampai pelatihan militer. Saat itu, tercatat, NPA disokong pemerintah Cina, dibekingi oleh Partai Pekerja Korea Utara, faksi Maois dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Tentara Merah Jepang (1971–2001), Sandinista National Liberation Front (FSLN) dari Nikaragua, Partai Komunis El Salvador, Partai Komunis Peru, dan militer Aljazair.
Selain bergerilya, kelompok komunis juga menjalankan lini bisnisnya. Contohnya NDF, yang mengendalikan sejumlah perusahaan dagang dengan wilayah operasional dari Hong Kong, Belgia, dan Yugoslavia. CPP pun mengambil langkah serupa dengan perwakilan lebih luas lagi, yakni hingga ke Jerman, Perancis, Italia, Yunani, Irlandia, Amerika Serikat, Swedia, dan area Timur Tengah. Meski keuntungan dan pendanaannya cukup besar, jumlahnya menurun lumayan drastis sejak keruntuhan negeri-negeri Blok Timur sejak awal tahun 1990-an.
Memasuki era 2000, pemerintah Filipina dibuat naik pitam oleh NPA. Imbasnya, Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) meluncurkan kampanye extra judicial killing atau pembunuhan di luar hukum kepada anggota NPA demi menekan aksi-aksi gerilya. Targetnya mencakup para tertuduh simpatisan NPA. Tujuannya: agar organisasi ini melemah sebab dinilai membunuh orang-orang tak bersalah.
Pemerintah Filipina menjalankan kebijakan berdarah tersebut dengan mencontoh Program Phoenix, sebuah program yang dirancang oleh pemerintah Amerika Serikat dan diterapkan dalam perang melawan gerilyawan komunis di Vietnam. Jurnalis investigatif Seymour Hersh, mengutip statistik yang diterbitkan Vietnam Selatan, menyebutkan angka nyaris 41 ribu jumlah korban tewas akibat penyiksaan, pembunuhan, perkosaan selama program tersebut berlangsung.
Di bawah Presiden Duterte, yang kini duduk di Malacañang, 200 ribu personel tentara dikirim untuk menghadapi NPA. Menurut data pemerintah Filipina, kontak senjata antara kedua belah pihak dalam periode 1969-2002 mencapai 22.799 dari gerilyawan CPP-NPA-NDF, 9.867 dari militer dan kepolisian Filipina, dan 10.672 dari kalangan sipil. Proses perdamaian agar tak timbul korban lain masih terganjal ego Duterte maupun koalisi kiri.
Jalan perdamaian antara pemerintah dan kaum komunis agaknya masih jauh dari harapan. Namun, hal itu tidak menutup pintu keadilan bagi pelaku kejahatan HAM macam Palparan. Setidaknya, dari kasus Palparan, publik tahu bahwa pengadilan berani ambil sikap yang lepas dari intervensi militer maupun pemerintah.
Tentu Palparan-Palparan lainnya masih berkeliaran di Filipina—juga di Indonesia.