Teknologi MotoGP yang Bikin Valentino Rossi Tak Merasa Romantis

Penulis: Yudistira Perdana Imandiar tirto.id - 02 Aug 2018 11:05 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Valentino Rossi merasa situasi menjadi pembalap MotoGP saat ini berbeda jauh dengan awal tahun 2000-an. Kenapa?

tirto.id - Penggunaan teknologi pada dunia olahraga telah menjangkiti pelbagai kompetisi dunia seperti sepakbola yang lekat dengan teknologi VAR yang begitu kontroversial pada Piala Dunia lalu. Di dunia motor balap, teknologi juga mulai merasuki kompetisi, dan berimbas pada pembalap.

Legenda hidup MotoGP Valentino Rossi merindukan suasana kompetisi MotoGP di awal tahun 2000-an. Menurutnya pada masa-masa itu pembalap memiliki keintiman dengan motornya. "15 tahun lalu terasa lebih romantis! Anda bisa mengendarai motor dengan perasaan. Sekarang berbeda, (pembalap) harus mengerjakan banyak hal. Mungkin itu yang membuat bosan," ujar Rossi seperti dilansir Crash.

Pembalap berusia 39 tahun itu menggambarkan bagaimana tim dan pembalap kini sangat mementingkan teknologi motor. Mereka berusaha mendapatkan setelan terbaik agar bisa menjadi yang tercepat di sirkuit. Berbeda halnya dengan kondisi dua windu lalu kala MotoGP masih belum kecanduan sederet teknologi canggih dan terbaru. Kala itu, menurut Rossi, pembalap sangat mengoptimalkan insting mereka saat berada di dalam lintasan balap.

Perubahan kultur itu, juga menurut The Doctor, membuat kejuaraan lebih kompetitif. Hal itu dibuktikan dengan dekatnya selisih waktu lap yang dibuat oleh para pembalap MotoGP. “Saya pikir itu (perubahan budaya kerja pembalap) merupakan perbedaan terbesar. Tapi itu bagus untuk kejuaraan,” sebut Rossi.

Dalam tiga tahun ke belakang, atmosfer persaingan dalam kejuaraan MotoGP menjadi lebih hangat. Tidak hanya Honda dan Yamaha yang dominan, Ducati dan Suzuki pun bisa memberikan perlawanan. Kualitas motor dari keempat pabrikan tersebut juga relatif sepadan.

Sejak Dorna Sport sebagai penyelenggara event MotoGP dan World Superbike mengubah kompetisi dari era GP500 yang menggunakan motor 2-tak 500cc, menjadi MotoGP dengan motor 4-tak 990cc, para peserta terpacu untuk mengeluarkan berbagai inovasi teknologi.

Mengutip catatan Crash, rekor kecepatan maksimal motor MotoGP pun terus meningkat dari masa ke masa. Pada tahun pertama format MotoGP bergulir pada 2002, kecepatan tertinggi berada di level 324,5 km/jam. Tahun 2017, rekor kecepatan tertinggi meningkat signifikan menjadi 354,7 km/jam.

Setiap pabrikan peserta MotoGP berlomba membuat konstruksi sasis dan mesin paling efektif untuk mendongkrak kecepatan motor. Selain itu, perangkat elektronik kini menjadi nyawa yang mengatur berbagai sistem para tunggangan pembalap.

Honda mengklaim sebagai pionir dalam inovasi teknologi elektronika di motor MotoGP. Pada 2004, pabrikan berlogo sayap kepak menyertakan perangkat Honda intelligent traction control system (HITCS) di motor balapnya RC211V. Menurut laman World Honda, komponen tersebut bertugas menyeragamkan putaran roda depan dan belakang buat mencegah wheelspin dan wheelie yang dapat menghambat akselerasi motor.

RC211V juga dilengkapi engine intake exhaust control dan slipper clutch untuk meredam efek back torque saat proses engine braking sejak 2002, ketika masih mengandalkan Rossi sebagai joki. Menggunakan perangkat tersebut menjadikan motor Honda bisa “mengalir” dengan mulus saat masuk tikungan.

Ketika regulasi kapasitas mesin diturunkan menjadi 800cc mulai musim balap 2007, Honda sudah menyiapkan teknologi HITCS versi anyar. Salah satu kelebihannya, yakni memiliki sistem direct wire connection yang mengubungkan tuas gas dengan tiga silinder depan di mesin V5 RC211V. Sementara traction control diintegrasikan dengan dua silinder belakang. Dengan begitu, pembalap dapat mengatur bukaan gas dengan presisi, terutama saat berakselerasi keluar tikungan.

Lompatan signifikan lainnya dari Honda, yakni ketika pada 2011 motor RC212V tunggangan Casey Stoner dan Dani Pedrosa diberikan seamless gearbox—sistem transmisi yang tidak memiliki jeda saat perpindahan gear sehingga tenaga mesin tidak terbuang. Hal itu membuat motor Honda mampu berakselerasi lebih cepat dan deselerasi sangat halus.

Berbeda dengan Honda yang cekatan membuat teknologi modern untuk ditanam pada motor balapnya, Yamaha sedikit lebih lamban dalam melakukan revolusi. Pada tahun pertama MotoGP, Yamaha YZR-M1 masih menggunakan konstruksi sasis dan teknologi pendukung tidak jauh berbeda dengan yang digunakan di motor 2-tak. Bahkan, seperti dilaporkan Benetts, Yamaha M1 tahun 2002 masih mengandalkan sistem karburator.

Baru pada 2006, Yamaha menjejali YZR-M1 dengan teknologi modern yang perannya vital. Sebut saja perangkat fly by wire—sistem pengendalian kecepatan melalui peranti elektronik. Di dalamnya terdapat beberapa fitur, yakni launch control, traction control, wheelie control, serta engine brake control. Yamaha juga baru memasang peranti seamless downshift gearbox di musim balap 2015.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/08/01/perubahan-regulasi-motogp--mild--rangga_ratio-9x16.jpg" width="860" alt="Infografik Perubahan Regulasi MotoGP" /

Perangkat elektronik di motor MotoGP pun dipasang buat menyelaraskan berbagai komponen seperti sistem suspensi, rem, kemudi, dan lainnya. Maka tidak berlebihan jika motor MotoGP disebut sebagai keturunan robot.

Dalam sebuah tulisan, USA Today memaparkan kebaruan teknologi membuat motor balap MotoGP begitu mahal harganya, nyaris US$2 juta per unit motor pada 2015. Setiap motor MotoGP setidaknya memiliki 30-40 sensor buat menjalankan sistem elektronik.

Material komponen juga berbeda dari produk motor massal. Penggunaan karbon untuk piringan cakram dan sasis, merupakan perwujudan kemewahan di pacuan MotoGP. Sebagai perbandingan, harga satu kg serat karbon ditaksir sekitar US$22, sementara baja biasa hanya US$2,2 per kg. Harga yang harus dibayar sebanding dengan kualitas serat karbon yang dikenal kokoh tapi bobotnya jauh lebih ringan dari besi atau baja.

Peningkatan kecepatan membuat motor MotoGP sangat membutuhkan komponen aerodinamika yang mumpuni, layaknya mobil F1. Fitur traction control saja dirasa kurang untuk membendung power mesin. Maka, berawal dari 2016, Ducati mempelopori penggunaan winglet di fairing motor untuk menambah downforce.

Jurus tersebut terbukti ampuh, pada tahun itu Ducati memperoleh kemenangan perdana di kelas MotoGP melalui pembalap Andrea Iannone di Sirkuit Red Bull Ring, Austria. Itu merupakan kemenangan pembuka Ducati setelah paceklik sejak 2010. Yamaha, Honda, Suzuki pun ikut mengaplikasi winglet.

Karena masalah keamanan, penggunaan winglet di fairing motor dilarang oleh komisi grand prix, efektif mulai 2017. Namun, pabrikan tidak kehabisan akal. Ducati, Yamaha, Suzuki, Aprilia, dan KTM sama-sama mengeluarkan fairing baru dengan beragam bentuk yang mampu meningkatkan downforce.

Usaha pabrikan yang ngotot mengembangkan teknologi motor membuat pembalap sangat terbantu. Mereka tinggal katakan apa yang dibutuhkan, maka tim akan berusaha mengindahkan kemauan joki. Hal itu yang dimaksud Rossi, hubungan pembalap dan motornya menjadi kurang romantis. Mereka tidak mencoba lebih dulu mengenali motornya karena terbiasa meminta penggantian komponen atau bahkan mendesak pembaharuan teknologi agar kemampuan motor membaik. Pembalap begitu dimanjakan, dan ini yang tak disukai Rossi.

Baca juga artikel terkait Motogp atau tulisan menarik lainnya Suhendra
(tirto.id - dra/yud)

Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra