tirto.id - Acara pembukaan Asian Games 2018 yang digelar di Gelora Bung Karno pada 18 Agustus lalu menuai banyak pujian. Para penonton, baik yang hadir langsung di stadion maupun lewat layar televisi, terkagum-kagum dengan rangkaian acara yang ditampilkan.
Salah satu yang menjadi sorotan penonton adalah penampilan ribuan pelajar SMA/SMK yang menari sambil duduk. Gerakan teratur yang dilakukan banyak orang disertai dengan pencahayaan dan kostum yang penuh warna membuat tarian massal itu terlihat indah.
Tarian tersebut diwartakan sejumlah media sebagai tari Saman. Namun, beberapa saat kemudian banyak warganet yang mencoba mengoreksinya dengan menyebut bahwa tari tersebut bukan tari Saman, melainkan tari Ratoh Jaroe. Poin yang mereka koreksi rata-rata adalah soal penari: Saman dibawakan para penari laki-laki, sementara Ratoh Jaroe dibawakan para penari perempuan.
Saman atau Ratoh Jaroe?
Menurut Marzuki Hasan, koreografer tari Aceh kelahiran Blangpidie yang juga pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Saman dalam keseharian masyarakat Aceh diartikan sebagai “menari”, bukan jenis tarian. Sementara Ratoh Jaroe adalah tari duduk yang di dalamnya ada unsur-unsur tari Aceh. Penamaan Ratoh Jaroe, tambah Marzuki, dilakukan karena tari duduk Aceh yang telah puluhan tahun masuk ke Jakarta mengalami sejumlah modifikasi.
Ia menambahkan bahwa di Aceh terdapat puluhan jenis tari duduk dan mempunyai nama yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di daerah Gayo disebut Saman Gayo, di pesisir barat selatan Aceh disebut Ratoh Duek, di Aceh Besar namanya Likok Pulo, di Pidie orang-orang menyebutnya Rabbani, di Bireun bernama Rabbani Wahed, dan sebagainya.
Ihwal perbedaan penari, ia membenarkan bahwa ada beberapa tari duduk yang hanya dibawakan laki-laki seperti Saman Gayo. Sementara tari duduk yang dibawakan perempuan disebut Rateub Maseukat.
Marzuki Hasan mengaku tidak sempat melihat tari duduk Aceh pada pembukaan Asian Games secara langsung karena ia sedang ada keperluan di Aceh. Maka tadi pagi, Senin (20/8/2018), saat dihubungi Tirto, ia segera melihat rekamannya lewat sebuah kanal media sosial.
“Itu sebuah pengembangan, tapi yang penting dasarnya ada. Di awal menyampaikan salam dulu, kemudian di bagian ekstra ada lagu "Bungong Jeumpa" yang dibuat dengan satu gerak yang sederhana, tapi secara keseluruhan kita lihat indah. Pencahayaannya [juga] indah sehingga bisa ditonton dengan baik. Tapi dengan waktu yang terbatas tidak mungkin membuat tari Ratoh Jaroe yang memasukkan semua unsur,” ucapnya mengomentari tarian tersebut.
Ia menambahkan bahwa tari duduk yang dibawakan secara massal itu secara keseluruhan tidak mewakili satu tarian, tapi ada beberapa unsur tarian duduk yang ada di Aceh.
“Sebenarnya mau dibilang [tari] apa susah juga, karena sudah dikembangkan. Cuma ada unsur Aceh di dalamnya. Kalau disebut Ratoh Jaroe kurang tepat, apalagi disebut tari Saman, enggak tepat juga. Namanya jangan dibilang Ratoh Jaroe, karena kan hanya cukilan kecil. Tapi buat saya sudahlah, enggak apa-apa, yang penting itu bisa menyemangati. Kita jangan melihat kekurangannya, tapi melihat hasilnya,” tutur Marzuki.
Tirto sempat menghubungi Eko Supriyanto, salah satu koreografer yang menangani sejumlah tari pada acara pembukaan Asian Games. Namun, ia menginformasikan bahwa koreografer tari duduk massal itu bukan dirinya, tapi Denny Malik.
“Saya coba tanya dulu boleh enggak ya, Mas, di-share nomornya Mas Denny,” ujarnya saat Tirto meminta kontak Denny Malik. Dan sampai artikel ini selesai ditulis, Tirto belum mendapat balasan lagi.
Namun, berdasarkan penuturan Marzuki Hasan, Denny Malik sempat menghubungi dirinya sebelum acara pembukaan Asian Games digelar. Kepada pelantun lagu “Jalan-Jalan Sore” itu, Marzuki menyampaikan bahwa dirinya tak bisa membantu karena harus pergi ke Aceh untuk mempersiapkan pertunjukan tari massal serupa.
“Saya enggak bisa membantu Denny, bikin aja [tari] Aceh yang penting etis, kemudian pakaiannya juga harus bagus, yang Islami. Itu yang pokok dulu. Soal gerak itu pengembangan, terserah kamu. Mau mengembangkan [boleh], asal tidak terlalu berlebihan,” ujarnya.
Lahir sebagai Media Dakwah
Saman Gayo dan tari duduk Aceh lainnya, menurut Marzuki, lahir sebagai media penyebaran agama Islam di Aceh. Akarnya dari salat dan zikir. Pola posisi para penari yang berjajar atau bersaf sama dengan posisi ketika umat Islam melaksanakan salat, sementara dinamika tarian yang semula lambat dan perlahan semakin cepat diambil dari zikir.
“Gerak dari lambat ke cepat itu sebenarnya dulu dari zikir. Orang zikir kan enggak mungkin lambat terus. Ia biasanya lambat, lambat, lambat, lalu cepat. Kan ada [juga] tarekat dalam Islam yang zikirnya sampai trance. Itu dulu ada tarekat tertentu yang terbawa dalam seni budaya Aceh,” tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam tarian Aceh ada unsur yang tak bisa lepas dengan unsur agamis, sifat kepahlawanan, disiplin, dan kebersamaan.
Sementara dalam Saman: Kesenian dari Tanah Gayo (2014), Rajab Bahry dan kawan-kawan menerangkan bahwa asal kata Saman berasal dari nama seorang ulama yang menyebarkan Islam di daerah Gayo.
“Menurut penuturan masyarakat, tari Saman berasal dari kesenian masyarakat Gayo pada masa itu yang bernama Pok Ane. Kesenian ini mengandalkan tepukan kedua belah tangan dan tepukan tangan ke paha sambil bernyanyi riang. Ulama Syekh Saman mendapat inspirasi mengembangkan agama Islam dengan memanfaatkan kesenian masyarakat ini,” tulisnya.
Dalam keterangan lain yang mereka kutip dari Gajosche-Nederlandech Woddenboek met Nederlandsch-Gajosch Register (1907), bahwa kamus tersebut telah mencantumkan kata Saman.
Mereka menambahkan, dalam catatan Marcopolo saat singgah di Kerajaan Pasai (1292), petualang itu pernah merasa khawatir karena mendengar suara orang ribut dan berkelahi. Namun, Marcopolo akhirnya merasa tenang setelah ada yang memberitahunya bahwa suara itu adalah suara orang-orang Gayo yang sedang memukul-mukul dada.
“Setelah itu, Marcopolo pergi melihatnya dan terlihatlah sederetan pemuda Gayo sedang bermain Saman berderet di atas batang kelapa yang telah direbahkan,” tulisnya.