Siti Baroroh Baried, Profesor Perempuan Pertama

Penulis: Iswara N Raditya tirto.id - 17 May 2018 05:00 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Bagi Siti Baroroh Baried, emansipasi perempuan harus tetap berada di jalur yang benar, tidak melampaui kodrat.

tirto.id - “Dalam sejarah Muhammadiyah, perempuan pernah masuk dalam jajaran pimpinan, seperti Ibu Siti Baroroh Baried,” sebut Norma Sari kepada media di sela-sela pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, awal Agustus 2015.

Norma Sari, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Nasyiatul Aisyiyah (PP NA), organisasi remaja putri di bawah naungan Muhammadiyah, waktu itu memang tengah gundah. Ini lantaran kepengurusan PP Muhammadiyah periode 2015-2020 terancam tanpa pimpinan dari unsur perempuan.

Jajaran 39 calon formatur PP Muhammadiyah yang disaring dari 82 nama, tidak ada satupun wanita yang masuk. Norma Sari amat menyesalkan jika nantinya benar-benar tidak ada sosok perempuan dalam kepengurusan salah satu perhimpunan umat Islam terbesar di Indonesia ini.

"Perempuan adalah mitra dalam Muhammadiyah, bukan kompetitor apalagi sekadar kanca wingking,” kata Norma Sari.

Sidang Tanwir dalam muktamar di Makassar itu diakhiri dengan penetapan 13 nama anggota PP Muhammadiyah periode 2015-2020, tapi masih nihil unsur perempuan. Untunglah, persoalan ini kembali dibahas sebelum turun keputusan resmi.

Digelarlah rapat pleno pada 18 Agustus 2015 di Yogyakarta. Dalam forum ini, ditambahkan empat nama untuk melengkapi jajaran PP Muhammadiyah, salah satunya adalah perempuan, yakni Noordjannah Djohantini yang juga Ketua Umum PP 'Aisyiyah.

Maka, dalam susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015-2020 yang lantas diresmikan, dari 17 nama pengurus teras yang dipimpin Haedar Nashir, terselip satu nama perempuan yang duduk sebagai salah satu ketua. Kendati tentunya masih terlihat sangat timpang, namun setidaknya ada. Norma Sari sedikit bernafas lega.

Dengan menyebut nama Siti Baroroh Baried, aspirasi Norma Sari yang mendambakan agar Muhammadiyah tidak melupakan unsur perempuan dalam jajaran pimpinannya pun terealisasi. Lantas, siapakah wanita legendaris yang disebut oleh Norma Sari itu?

Sosok Langka di Muhammadiyah

Siti Baroroh Baried membikin gempar dunia pendidikan nasional. Pada 27 Oktober 1964, ia diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Apa yang aneh?

Pengangkatan ini amat istimewa. Ia mencetak sejarah sebagai guru besar perempuan pertama, bahkan pada usia yang masih 39 tahun. Dengan kata lain, seperti yang ditulis Adaby Darban dalam artikel “Lintasan Sejarah Kauman Jogjakarta” (2015), Siti Baroroh Baried adalah profesor perempuan pertama di Indonesia.

Tak hanya dikenal sebagai aktivis perempuan, Siti Baroroh Baried memang juga seorang pakar bahasa. Selama dua periode, 1965-1968 dan 1968-1971, ia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UGM, serta Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM periode 1963-1975. Ia juga turut mengelola penerbitan Majalah Suara 'Aisyiyah.

Banyak karya Siti Baroroh terkait pembelajaran mengenai filologi, ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah; sebut saja Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Bahasa Indonesia sebagai Infrastruktur Pembangunan (1980), Panji: Citra Pahlawan Nusantara (1980), Pengantar Teori Filologi (1985), Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia (1985), Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia (1989), dan masih banyak lainnya.

Siti Baroroh dilahirkan di Yogyakarta pada 23 Mei 1925. Ia masih berkerabat dekat dengan Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan. Ayahnya, H. Tamim bin Dja’far, adalah keponakan dari istri pendiri Muhammadiyah itu.

Perempuan yang lahir di Kauman—kampung tempat didirikannya Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 1912—ini lebih dikenal dengan nama Siti Baroroh Baried. Ia mencantumkan nama depan suaminya, Baried Ishom, seorang dokter spesialis bedah yang pernah menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Selain Nyai Ahmad Dahlan, Siti Baroroh Baried barangkali merupakan salah satu sosok wanita paling berpengaruh dalam sejarah panjang Muhammadiyah dan tentu saja 'Aisyiyah. Abd. Rohim Ghazali dalam tulisan di kolom Geotimes.co.id (2016) dengan judul “Kartini-Kartini Muhammadiyah” bahkan menyebut Siti Baroroh sebagai tokoh perempuan Muhammadiyah yang tergolong langka.

Selangka apakah sebenarnya sosok Siti Baroroh Baried?

Salah satunya seperti yang telah dikatakan oleh Norma Sari, bahwa Siti Baroroh pernah masuk jajaran pimpinan Muhammadiyah. Dan teramat jarang kala itu seorang wanita bisa menembus level terhomat tersebut, bahkan hingga kini.

Menurut Mu’arif, peneliti sejarah sekaligus Redaktur Eksekutif Majalah Suara Muhammadiyah, kepada Tirto.id, Siti Baroroh Baried masuk ke jajaran pemimpin PP Muhammadiyah pada era Muhammad Yunus Anis (1959-1962). Siti Baroroh bukan terpilih dalam muktamar, melainkan masuk melalui jalur tambahan, seperti halnya Noordjannah Djohantini dalam kepengurusan PP Muhammadiyah periode 2015-2020.

Di kalangan 'Aisyiyah yang merupakan organisasi sayap perempuan Muhammadiyah, nama Siti Baroroh Baried memang telah melegenda. Ia adalah Ketua Umum PP 'Aisyiyah terlama yang menjabat dalam 5 periode secara beruntun, yakni 1965-1968, 1968-1971, 1971-1974, 1974-1977, dan 1978-1981.

Selain aktif di 'Aisyiyah dan Muhammadiyah, Siti Baroroh Baried juga pernah masuk dalam kepengurusan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Sang Pencerah 'Aisyiyah

Sebagai putri asli Kauman, Siti Baroroh Baried merupakan kader 'Aisyiyah sejati. Ia merintis perannya di organisasi perempuan yang bergerak di bidang keagamaan dan kemasyarakatan ini dari jenjang paling bawah hingga menempati posisi tertinggi sebagai ketua umum.

Dalam masa yang cukup panjang itu, Siti Baroroh Baried berandil besar dalam membangun 'Aisyiyah. Tak cuma lama menjabat sebagai ketua umum, ia juga memperkenalkan organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah yang berdiri sejak 19 Mei 1917 ini ke seantero dunia.

Siti Baroroh selalu membawa nama 'Aisyiyah ke forum-forum global sekaligus menjalin relasi dengan badan-badan internasional macam UNICEF, UNESCO,WHO, The Asia Foundation, World Conference of Religion and Peace, UNFPA, UNDP, World Bank, dan masih banyak yang lainnya. Sebelum menjadi ketua umum, ia pernah menjabat sebagai Ketua Biro Hubungan Luar Negeri di 'Aisyiyah.

Sebagai lulusan Universitas Al Azhar Mesir, jaringan Siti Baroroh memang luas. Ia kerap diundang ke berbagai acara internasional, dan ini menjadi ajang yang efektif untuk memperkenalkan 'Aisyiyah. Salah satunya dalam seminar di Havard University, Amerika Serikat, di mana Siti Baroroh menyampaikan materi “Aisyiyah and The Social Change Woman of The Indonesian” (Suara ʻAisyiyah, Volume 76, 1999: 9).

Atas perannya, ‘Aisyiyah memiliki posisi tawar di luar negeri (dikutip dari profil Siti Baroroh Baried dalam Aisyiyah.or.id). Tidak sedikit peneliti maupun akademisi dari berbagai perguruan tinggi di dunia yang tertarik mempelajari tentang 'Aisyiyah berkat kampanye internasional yang dimotori oleh Siti Baroroh Baried.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/05/16/siti-baroroh--mild--quita_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1524" alt="Infografik Al ilmu Siti Baroroh Baried" /

Sepak Terjang Putri Kauman

Keputusan Siti Baroroh Baried kuliah di Universitas Al Azhar Mesir, setelah lulus dari Fakultas Sastra UGM dan Universitas Indonesia (UI) pada 1952, tentunya bukan tanpa alasan. Ini adalah wujud perjuangan sekaligus pembuktiannya dalam hal emansipasi wanita. Untuk diketahui, kala itu sangat langka perempuan bisa sekolah di luar negeri, dan Siti Baroroh ternyata sanggup membuktikannya.

Siti Baroroh Baried yakin, sebelum Kartini, sebetulnya sudah ditemukan “kesadaran individual” perempuan Indonesia akan betapa pentingnya emansipasi wanita atau pembelaan terhadap perempuan. Ini diungkapkan Siti Baroroh melalui tulisannya berjudul “Islam dan Modernisasi Wanita” yang terangkum dalam buku Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara suntingan Taufik Abdullah (1988: 147).

Bentuk emansipasi wanita Indonesia pra Kartini, lanjut Siti Baroroh, dibuktikan dengan adanya usaha untuk mengangkat derajat kaum perempuan sebelum memasuki abad ke-20. Siti Baroroh mencontohkan peran Siti Aisyah W. Tanriolle, seorang ratu dari Ternate yang sudah mendirikan sekolah pada 1856 untuk anak-anak perempuan.

Maka, perjuangan yang ditekuni Siti Baroroh Baried pun tidak jauh-jauh dari persoalan ini. Selain gigih memperjuangkan hak-hak perempuan, ia juga mencurahkan perhatian penuh untuk mengangkat harkat dan martabat kaumnya melalui pendidikan, bahkan sejak usia sedini mungkin.

Selama masa kepemimpinannya di 'Aisyiyah, Siti Baroroh banyak melakukan pengembangan pendidikan pra sekolah yaitu Taman Kanak-Kanak 'Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) maupun sekolah-sekolah kejuruan kebidanan dan keperawatan.

Berkat rintisan Siti Baroroh dan para pendahulunya, 'Aisyiyah saat ini memiliki berbagai amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, juga pemberdayaan masyarakat. Di sektor pendidikan saja, 'Aisyiyah kini mengelola lebih dari 4.560 amal usaha, dari kelompok bermain, pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, tempat penitipan anak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah kejuruan, bahkan sekolah tinggi.

Namun, emansipasi wanita bagi Siti Baroroh Baried tidak semata-mata usaha untuk menyamakan derajat, bahkan melampaui, kaum lelaki. Siti Baroroh memang memperjuangkan hak-hak perempuan, tapi tetap berjalan pada jalur yang benar sesuai tuntutan agama Islam.

Dikutip dari buku Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan (2004) karya Amelia Fauzia, bagi Siti Baroroh, seorang perempuan bisa diterima untuk memiliki karier di luar rumah. Hanya saja, pada saat yang sama ia juga harus tetap memperhatikan tertib perilaku yang selama ini diasosiasikan dengan kodrat dasar perempuan, khususnya sebagai istri yang menangani urusan internal rumah tangga (hlm. 99).

Selain itu, lanjut Siti Baroroh, perempuan yang bekerja di luar rumah perlu batasan-batasan tertentu sehingga tidak keluar dari kodratnya sebagai perempuan dan posisinya sebagai istri, seperti antara lain harus seizin suami, tidak sampai menelantarkan pendidikan dan perhatian untuk anak-anaknya, dan lain sebagainya.

Maka, setinggi dan sebesar apapun pencapaian yang diraih Siti Baroroh dalam karier, ia tetap menjalani peran sebagai istri dan ibu dengan sebaik-baiknya. Melalui 'Aisyiyah, ia terus mengkampanyekan edukasi tentang emansipasi wanita yang terkadang kerap dianggap kebablasan.

Siti Baroroh Baried tetap berteguh bersama 'Aisyiyah hingga akhir hayat. Saat masih menjabat sebagai penasihat PP 'Aisyiyah sekaligus Pemimpin Umum Majalah Suara 'Aisyiyah, perempuan langka yang lahir dari rahim Muhammadiyah ini wafat pada 9 Mei 1999 dalam usia 74.

Baca juga artikel terkait Al-ilmu Nuurun atau tulisan menarik lainnya Ivan Aulia Ahsan
(tirto.id - ivn/isw)

Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan