Simbiosis Asyik Musik dan Politik

Reporter: Alexander Haryanto tirto.id - 27 Jun 2016 18:46 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Di Indonesia, partai politik kerap menggunakan para musisi untuk berkampanye, baik itu pemilihan legislatif, kepala daerah, bahkan pemilihan presiden. Fenomena yang paling masif terjadi pada 2014 lampau.

tirto.id - Ketika People's National Party (PNP) dan Jamaican Labour Party (JLP) bersitegang di Kingston, Jamaika, Perdana Menteri Jamaika, Michael Manley meminta Bob Marley pentas di konser gratis “Smile Jamaica” pada 5 Desember 1976. Bob menyetujui ajakan konser itu.

Belakangan, persetujuan Bob disalahtafsirkan. Ia dituduh mendukung Partai PNP milik Michael Manley. Memang, sebelumnya Bob sempat didekati secara terpisah oleh faksi politik JLP dan PNP, tetapi Bob tetap enggan bermain politik, ia lebih memilih untuk netral.

Akibatnya, dua hari sebelum konser tersebut dimulai, rumah Bob di 65 Hope Road diserang. Bob mengalami luka ringan akibat tembakan, sementara istrinya Rita Marley dan Don Taylor (Manager band) luka parah. Konser tersebut hampir batal. Namun, Bob ternyata tetap manggung di hadapan lebih dari 80.000 penonton.

Tidak hanya Bob, Wyclaf Jean, mantan personil Fugees pernah mengalami hal serupa. Tangannya terluka akibat tembakan di Kota Delmas, Haiti pada Sabtu pertengahan Maret lalu. Penembakan Jean diduga terkait dengan dukungan terhadap rekannya sesama musisi yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden Haiti, Michael Martelly atau yang lebih dikenal dengan “Sweet Micky”.

Apa yang terjadi pada Bob dan Jean adalah dua bukti bahwa musik bisa menjadi kekuatan politik. Tidak hanya di Jamaica dan Amerika, di Indonesia, hampir setiap partai politik menggunakan para musisi untuk berkampanye dalam pemilu, baik itu pemilihan legislatif, kepala daerah, bahkan pemilihan presiden.

Fenomena paling masif dari musik sebagai kekuatan politik di Indonesia terjadi pada 2014. Ketika itu, para musisi Tanah Air berbondong-bondong mendukung masing-masing calon presiden. Dua kubu sempat terpecah, sejumlah musisi mendukung pasangan Calon Presiden (Capres) Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan sejumlah musisi lainnya mendukung capres Prabowo Subianto-Hata Rajasa.

Slank, grup band yang lirik-liriknya banyak membicarakan tentang kritik sosial tak ingin ketinggalan. Mereka secara terbuka mendeklarasikan dukungannya ke Jokowi. Sementara pentolan grup Band Dewa 19, Ahmad Dhani mendukung capres dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto.

Musik Sebagai Kekuatan Politik

Musik telah menjadi kekuatan politik tersendiri. Hal ini bisa ditelisik dari fenomena elektabilitas Jokowi di masa awal pencalonannya. Kala itu tren elektabilitas Jokowi sempat menurun, berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Desember 2013 hingga April 2014. Data tersebut memperlihatkan, elektabilitas Jokowi yang pada Desember 2013 sempat berada di angka 51 persen, menurun menjadi 39 persen pada Februari 2014. Namun, pada Maret kembali naik menjadi 52 persen. Sementara pada bulan April (pasca pemilu legislatif, 9 April), elektabilitas Jokowi kembali turun menjadi 47 persen.

Sebaliknya elektabilitas Prabowo, di periode sama, naik dari 22 persen di bulan Desember 2013, menjadi 32 persen usai Pileg.

Meroketnya elektabilitas Prabowo tidak hanya disadari oleh SMRC. Menurut Lembaga Survei Nasional (LSN), pasangan Prabowo-Hatta juga diprediksi akan menang pada Pilpres 2014 dengan suara moderat sekitar 55 persen suara. Prabowo dinilai berhasil menguasai hampir semua suara di Provinsi Pulau Jawa.

Perubahan besar terjadi ketika para musisi mendeklarasikan dukungannya ke Jokowi. Kelompok dengan nama komunitas Revolusi Harmoni untuk Revolusi Mental itu mendeklarasikan dukungannya pada 11 Juni 2014. Tetapi, dari sekian banyak musisi, paling mencolok adalah Slank.

"Karena kami melihat ada harapan ke depan bagi Indonesia menjadi lebih baik, menjadi lebih besar seperti seharusnya, melalui gagasan Revolusi Mental yang digagas Jokowi-JK," kata Gitaris Slank, Abdee Negara, seperti dikutip Antara, Rabu awal 2014 silam.

Abdee mengatakan, sebagai bentuk dukungannya, komunitas Revolusi Harmoni untuk Revolusi Mental membuat lagu berjudul "Salam Dua Jari" untuk pasangan Jokowi-JK.

Slank tak bisa diremehkan, grup band asal Jakarta ini mempunyai jutaan penggemar yang tersebar diseluruh Indonesia. Saat ini, page Facebook mereka tercatat kurang lebih 7 juta orang menyatakan “suka”.

Slank tidak sendiri, sejumlah musisi juga menyatakan dukungannya untuk Jokowi antara lain Giring Nidji, Roy Jeconiah (eks personel Boomerang), Erwin Gutawa, Ian Antono personel God Bless, Opie Andaresta, Joe personel band Saint Loco dan lain-lain.

Dukungan dari para musisi ini memberikan dampak positif. Menurut data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilaksanakan pada 2- 5 Juli 2014, Jokowi-JK memperoleh dukungan sebesar 47,80 persen, sementara Prabowo-Hatta mendapat dukungan sebesar 44,20 persen. Selisih kedua Capres sebesar 3,60 persen. Sebelumnya pada akhir Juni (25-29 Juni 2014) selisih kedua Capres hanya 0,5 persen.

Dukungan kepada Jokowi semakin meningkat setelah musisi pendukungnya menggelar “Konser Salam Dua Jari” di Gelora Bung Karno pada 5 Juli 2014. Seperti dilansir dari Antara awal Juli 2014, menurut LSI, elektabilitas Jokowi meroket hingga 47,80 persen, lebih unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan raihan dukungan 44,20 persen.

Di luar dukungan musisi nasional sehari menjelang Pilpres, Arkarna melalui akun @arkarnaofficial pada 8 Juli 2014 menulis "VOTE JOKOWI FOR BETTER AND STRONGER FUTURE IN INDONESIA! EVERY VOTE COUNTS GUYS! SAY YES TO DEMOCRACY Arkarna Vote Jokowi #Jokowi9Juli." Dukungan ini nampaknya makin mengukuhkan elektabilitas Jokowi.

Selain itu, musisi dunia lainya seperti Jason Mraz dan Sting juga memberikan dukungannya ke Jokowi. Jason juga bercuit serupa di akun twitternya @jason_mraz "To my friends in Indonesia, this week you are empowered with your vote! Get involved in democracy and be heard! #Jokowi9Juli #yes!,"

Sementara Sting menuliskan "Use your rights-every vote counts #Jokowi9Juli," di akun Facebook-nya www.facebook.com/sting.

Jokowi akhirnya memenangkan Pilpres. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan, dari 33 Provinsi, Jokowi-Kalla mendapatkan 53,15 persen atau 70.633.576 suara. Sementara Prabowo-Hatta meraih 46,85 persen atau 62.262.844 suara. Jokowi-Kalla unggul 8.370.732 suara. KPU menyatakan jumlah suara sah sebanyak 132.896.438 suara.

Tentu kemenangan Jokowi bukan semata-mata karena pergerakan para musisi. Menurut LSI, kampanye Jokowi melibatkan endorsement tokoh-tokoh berintegritas tinggi, artis dan selebritis di social media dengan gerakan: #akhirnyamemilihJokowi. Hal itu mampu mendongkrak dukungan untuk Jokowi-JK.

src="https://mmc.tirto.id/image/2016/06/27/musikdanpolitik.jpg" width="860" /

Tidak Hanya Fans, Tapi Juga Duit

Maraknya dukungan musisi terhadap capres, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat. Misalnya pasangan suami istri Jay Z dan Beyonce yang memberikan dukunga saat Barack Obama nyapres pada 2008. Pasangan ini tak tanggung-tanggung memberi dukungan dengan mengadakan acara penggalangan dana. Perolehannya fantastis, 4 juta dolar AS.

Dukungan para musisi di AS, mungkin tidak seperti di Indonesia. Mereka bahkan rela memberikan sumbangan dalam bentuk uang guna memenangkan kandidat pilihannya.

Seperti dilansir dari opensecrets.org, para musisi memberikan sumbangan kepada Partai Demokrat untuk mendukung Obama. Antara lain Corky Hale Stoller menyumbang 135.550 dolar AS, Don Henley menyumbang 46.100 dolar AS, Will.i.am, Will Smith, Jada Pinkett Smith menyumbang masing-masing 35.800 dolar AS.

Mike Stoller menyumbang 35.100 dolar AS, Barbra Steisand menyumbang 32.500 dolar AS, John Legend menyumbang 25.000 dolar AS, Quincy Jones 22.900 dolar AS, dan Boyd Tinsley menyumbang 17.500 dolar AS.

Musisi beken lainnya yang menyokong Obama adalah Bruce Springsteen, Bob Dylan bahkan juga penyanyi seperti Katty Perry dan Lady Gaga.

Obama akhirnya memenangi Pilpres AS. Ia bahkan memimpin Negara Adidaya itu selama dua periode. Faktor dukungan dari musisi memang bukan satu-satunya. Namun, peran para musisi dalam mengantarkan jagoannya menang pemilu tak bisa dimungkiri.

Tidak Semua Musisi Mampu Dibeli

Kendati musik bisa menjadi kekuatan politik, tidak semua musisi sepakat. Salah satu penolakan tersebut datang dari grup band rock asal Inggris, Queen. Melalui gitarisnya, Brian May, Queen meminta calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump berhenti menggunakan lagu mereka "We Are The Champions" untuk berkampanye.

"Penggunaan musik Queen sebagai alat kampanye politik selalu bertentangan dengan kebijakan kami," kata Brian May.

Selain Queen, band legendaris Rolling Stones juga meminta Donald Trump, untuk berhenti memanfaatkan musik mereka untuk kampanye politik. "Rolling Stones tidak pernah memberikan izin kepada tim kampanye Trump untuk menggunakan lagu-lagunya dan telah meminta mereka segera berhenti memanfaatkan semua lagu itu," kata juru bicara band ini seperti dikutip Reuters.

Lagu mereka yang berjudul "You Can't Always Get What You Want" diputar oleh tim Donald Trump kurang lebih empat kali sebelum berkampanye di Carmel, Indiana, Amerika Serikat.

Selain itu, penyanyi asal Inggris, Adele, dengan tegas mengatakan bahwa lagunya tidak boleh digunakan oleh siapa pun untuk kampanye politik. Hal tersebut ia lontarkan setelah Trump memutarkan "Rolling in the Deep" saat kampanye di Iowa.

Majalah Politico melaporkan, tim kampanye Trump menolak teguran tersebut dan malah memutarkan lagu Adele yang menjadi lagu tema film James Bond, "Skyfall", saat kampanye di Little Rock, Arkansas, dua hari setelah Adele mengeluarkan peringatan itu. Peringatan Adele tampaknya diabaikan. Padahal, Adele benar-benar tidak nyaman musiknya digunakan untuk tujuan politik. Ia tak mau dituduh mendukung salah seorang calon. Bagi Adele, musik hanyalah musik tanpa pretensi apa-apa.

Kalau saja Adele memberikan dukungan, Donald Trump mungkin kini bisa tersenyum lebar karena akan memanen suara dari jutaan penggemar Adele. Itulah kekuatan musik di dunia politik.

Baca juga artikel terkait Politik atau tulisan menarik lainnya Nurul Qomariyah Pramisti
(tirto.id - nqm/ale)

Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti