tirto.id - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terus terjadi di Indonesia, terutama di Sumatera, Riau, dan Kalimantan. Sejarah mencatat, karhutla hebat pernah terjadi di Riau dan Kalimantan tahun 1997 silam. Dampaknya amat parah, termasuk jatuhnya pesawat dan efek asap yang sampai ke negara-negara tetangga, bahkan hingga Australia.
Efek kebakaran hutan dan lahan yang terjadi akhir-akhir ini juga cukup mengkhawatirkan. Sebaran asap yang ditimbulkan sudah amat meluas, mencapai sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan, bahkan warga negeri jiran juga turut merasakan dampaknya, demikian informasi dari laman BMKG pada Selasa (17/9/2019) pukul 12.00 WIB.
Citra satelit pantauan BMKG menunjukkan, asap terdeteksi di wilayah Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, hingga Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, bahkan sampai ke wilayah Malaysia dan Singapura.
Sementara berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin (16/9/2019) pukul 16.00 WIB, di Riau ditemukan sebanyak 58 titik panas, Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513), dan Kalimantan Selatan (178).
Sepanjang tahun 2019, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas karhutla di Indonesia mencapai 328.722 hektar. Di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektar, Kalimantan Barat 25.900 hektar, Kalimantan Selatan 19.490 hektar, Sumatera Selatan 11.826 hektar, Jambi 11.022 hektar, dan Riau 49.266 hektar.
Hitung mundur 22 tahun lalu, kebakaran hutan dan lahan pernah melanda Riau serta Kalimantan yang berlangsung lebih dari 7 bulan. Dampak yang ditimbulkan amat serius akibat kebakaran hutan dan lahan itu. Peristiwa ini bahkan disebut-sebut sebagai karhutla terparah sepanjang sejarah.
Pesawat Jatuh, Asap Menyebar Jauh
"Tahun 1997 dari bulan Juli sampai Februari 1998 merupakan kejadian yang luar biasa. Akibat kebakaran lahan dan hutan Riau saat itu, seluruh wilayah Asia Tenggara menjadi gelap," kata peneliti dari Rona Lingkungan Hidup Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, kepada Antara, 26 Juni 2013 silam.
Ariful Amri mengatakan hal itu untuk menanggapi peristiwa serupa pada 2013 yang oleh sebagian pihak disebut kejadian terparah. Menurutnya, kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 jauh lebih gawat. Dampaknya dirasakan oleh negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, bahkan hingga sebagian Australia.
"Jadi tidak benar jika kebakaran kali ini [2013] disebut yang terparah karena dunia sudah tahu, kebakaran hutan dan lahan pernah terjadi tahun 1997. Yang namanya lahan terbakar, sudah pasti menimbulkan pencemaran udara," jelasnya.
Waktu itu, Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, harus ditutup karena kabut asap. Kemudian disusul Bandara Internasional Polonia Medan setelah pesawat Garuda Indonesia jatuh di Sibolangit, Sumatera Utara.
Pada 26 September 1997, pesawat Garuda jenis Airbus 300 dengan kode penerbangan GA 152 jatuh di ladang warga, di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, dan menewaskan seluruh penumpang serta kru pesawat berjumlah 234 orang.
Dilaporkan Liputan6 ( 23 Juni 2004), kejadian pada 1997 itu diyakini disebabkan oleh ulah para pemilik perkebunan yang membakar lahan dan hutan untuk membersihkan areal perkebunan sebelum memasuki musim tanam. Kebakaran sulit dipadamkan karena titik api berada di bawah permukaan tanah.
Menurut investigasi Walhi, dikutip dari Kebakaran Lahan Rawa/Gambut di Sumatera: Masalah dan Solusi (2003) suntingan Suyanto dan kawan-kawan, hal ini justru disebabkan oleh kebijakan pertanian dari pemerintah saat itu.
Pemerintah Orde Baru menyatakan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah target utama masa depan. Maka, sejak 1995, pihak industri memakai cara tebang dan bakar untuk mengkonversi lahan menjadi perkebunan.
Ludwig Schindler lewat makalahnya “Fire Management in Indonesia Quo Vadis?” yang disajikan dalam Tropical Forest Fire: Prevention, Control, Rehabilitation, and Trans-Boundary Issues (7-8 Desember 1998), meyakini bahwa 99 persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh kesalahan manusia.
Peneliti dari Jerman ini kemudian memberikan beberapa saran yang bisa dilakukan pemerintah RI untuk mengatasi atau setidaknya meminimalisir kebakaran hutan, yaitu:
Pertama, mulai menyelesaikan masalah hak pakai lahan; kedua, memperkuat hukum bagi pelanggar aturan; ketiga, menentukan kebijakan kehutanan yang melahirkan kesadaran dan minat publik, media, dan komunitas lokal untuk melindungi hutan.
Berikutnya keempat, mengurangi diperbolehkannya menebang kayu tahunan; kelima, mengembangkan konsep pengelolaan kebakaran bagi pemilik konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan); terakhir atau keenam, memberhentikan konversi lahan hutan alam untuk perkebunan.
Kebakaran Hutan & Lahan Terparah
Hasil riset Afid Nurkholis dari Fakultas Geografi UGM Yogyakarta dengan judul “Analisis Temporal Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Tahun 1997 dan 2015” menyebutkan, kebakaran hutan di Riau (dan Kalimantan) pada 1997 merupakan sejarah kebakaran terparah yang pernah terjadi.
Menurut Laporan Kementerian Lingkungan (1998), karhutla tahun 1997 menghancurkan sekitar 383.870 hektar. Namun, sumber lain yang dikutip oleh Herman Hidayat dalam buku Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi (2008) menunjukkan data berbeda, bahkan jauh lebih luas dari yang diakui pemerintah.
Herman menuliskan, kebakaran hutan dari 1997-1998 ditaksir menyebabkan kerusakan sekitar 9,7 juta hektar. Di Kalimantan saja, menurut laporan The Asahi Shimbun (23 September 2002), tidak kurang dari 6,5 juta hektar hutan dan lahan dimakan api.
Dampak kebakaran hutan dan lahan ini sangat buruk, baik bagi kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Sekurang-kurangnya 20 juta orang Indonesia telah terkena polusi udara dan air, baik langsung maupun tidak langsung.
Asap hitam mengakibatkan ribuan orang di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, harus dirawat di rumah sakit. Di Irian Jaya (Papua), ratusan warga meninggal karena transportasi untuk makanan dan keperluan suplai lainnya di pedalaman terhenti akibat asap.
Laporan Bank Dunia per November 1997 menyatakan, keseluruhan kerugian akibat bencana ini mencapai sekitar Rp394 miliar untuk 8 provinsi yang terkena dampak asap serius. Dalam hal kesehatan jangka panjang dan pengaruhnya, kerugian keuangan diperkirakan akan mencapai 3 kali lipat atau Rp1,3 triliun.
Tak hanya itu, kabut asap akibat pembakaran yang terus meluas membuat pemerintah sejumlah negara sebelah menjadi gerah, terutama Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, juga Thailand, Filipina, serta Australia.
Berulang kali pemerintah Indonesia telah diminta agar menjelaskan langkah antisipasi agar kebakaran hutan dan lahan tidak terulang lagi. Namun, kejadian serupa terus saja terjadi, bahkan sampai detik ini.