tirto.id - Pembentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi polemik bagi organisasi profesi kesehatan. Apalagi, RUU Kesehatan yang dikonsep dengan metode omnibus law ini disebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR RI.
Omnibus law RUU Kesehatan ini akan menggabungkan sejumlah undang-undang yang mengatur tentang dunia kesehatan di Indonesia, seperti UU Keperawatan, UU Kebidanan, dan UU Praktik Kedokteran.
Lewat RUU ini, UU Nomor 36 Tahun 2009 bakal direvisi dan sedikitnya ada 13 undang-undang lain yang berkaitan dengan sektor kesehatan bakal digabungkan ke dalamnya.
Masalahnya, RUU Kesehatan ini dikritik oleh lima organisasi profesi kesehatan. Mereka bahkan melakukan aksi unjuk rasa di DPR RI pada 28 November lalu untuk menyatakan sikap menolak RUU tersebut.
Kelima organisasi profesi tersebut, antara lain: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Kemudian Persatuan Persatuan Perawat Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Dinilai Tidak Transparan & Monopoli Menkes
Anggota Pengurus Besar IDI, Iqbal Mochtar menyatakan, organisasi profesi menolak RUU Kesehatan karena terdapat sejumlah hal. Menurutnya, pembuatan RUU Kesehatan minum transparansi dan dibuat secara diam-diam.
Bahkan, kata dia, hingga kini tidak ada informasi jelas siapa pembuat RUU ini. DPR menunjuk Kemenkes pembuatnya. Sedangkan pihak Kemenkes menyebut RUU ini merupakan inisiatif DPR, sehingga terkesan 'kucing-kucingan.’
“Di draf RUU sendiri tertulis catatan confidential yang artinya rahasia. Ini aneh, mestinya RUU justru disebar luas dari awal agar masyarakat tahu dan bisa memberi masukan. Nama penyusun naskah akedemik RUU ini pun tidak ada,” kata Iqbal kepada Tirto, Rabu (14/12/2022).
Apalagi RUU Kesehatan telah masuk dalam Prolegnas 2022-2023. Artinya, masyarakat berhadapan dengan sebuah RUU misterius yang ujug-ujug akan disahkan. Ini jelas bertentangan dengan salah satu asas krusial pembentukan UU, yaitu keterbukaan.
“Semua produk legislasi, apalagi yang memengaruhi hayat hidup orang banyak, harus dibuat secara transparan,” ucapnya.
Selain itu, minim representasi dari organisasi profesi (OP) kesehatan. Seharusnya, OP dilibatkan sejak awal pembuatan RUU ini. Faktanya, tidak satu pun OP formal ini dilibatkan. Ini melahirkan spekulasi bahwa peran OP mau dihilangkan atau dikerdilkan dalam RUU ini.
“Ada upaya marginalisasi profesi. Ini tentu bukan langkah tepat karena berpotensi menimbulkan konflik antara pemerintah dengan OP,” kata Iqbal.
Ketua Departemen Dokter Luar Negeri ini juga menilai RUU Kesehatan minum kejelasan. Ia menuturkan 12 UU bidang kesehatan akan dihapus dan diganti oleh omnibus law RUU Kesehatan, tapi belum ada transparansi terkait alasan penggantian UU lama.
“Apakah UU lama sudah tidak relevan atau mengandung konflik satu dengan lainnya? Mesti ada penjelasan dan telaah ilmiah terkait aspek filosofis, yuridis, dan sosial penggantian UU ini. Sehingga ada alasan substansial dan relevan penggantian UU,” kata dia.
Selanjutnya, IDI menilai tidak adanya urgensi dalam penggantian UU bidang kesehatan. Sebab, masih ada UU di bidang lain yang perlu disahkan segera, seperti UU Telemedicine, UU Meta-Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat, dan Vaksin Wabah.
“UU yang mau diganti saja masih banyak yang lawas, seperti UU Kebidanan yang dibuat 2019. Juga tidak ada urgensi penggabungan UU karena tidak ada konflik signifikan antar UU," imbuhnya.
Iqbal menyatakan draf RUU Kesehatan yang diterima pihaknya juga dinilai menimbulkan pertanyaan terkait kualitas isinya dan banyak celah kelemahan.
“Antara pasal satu dengan pasal lain ada yang tabrakan. Pasal 268 menyebutkan pasien berhak menolak usulan penatalaksanaan dari tenaga kesehatan, sementara Pasal 269 menyatakan pasien wajib mematuhi nasihat tenaga kesehatan," tuturnya.
Menurutnya proporsi isu juga tidak proporsional. Ada topik yang pembahasannya sampai puluhan pasal, sementara ada topik krusial yang pembahasannya hanya beberapa pasal saja.
Naskah akademiknya pun tidak adekuat. Banyak bagian dalam naskah akademik yang tidak ada referensinya. Tidak jelas pendapat dari mana. Beberapa bagian lagi menggunakan referensi yang sudah outdated.
“Artinya naskah akademik ini fragile. Bagaimana bisa naskah akademik sebuah UU rapuh? Ini sekaligus menimbulkan pertanyaan siapa pembuat naskah ini, apakah mereka ahli kesehatan masyarakat dan berpengalaman menggabungkan sejumlah UU? Jangan-jangan tim pembuat tidak memiliki latar belakang adekuat terkait public health policy," jelas dia.
Terkahir, kata dia, IDI melihat adanya monopoli peran dalam omnibus law RUU Kesehatan. Menteri kesehatan menjadi super body, penentu dari semua persoalan kesehatan dari hulu ke hilir.
“Menteri akan menjadi atasan KKI, BPJS dan berbagai institusi lain. Padahal sebelumnya strukturnya tidak demikian. Menteri menjadi penentu utama standar-standar pendidikan kedokteran, pelayanan kedokteran dan standar profesi dokter," beber Iqbal.
Pada Pasal 235 RUU Kesehatan menyebutkan bahwa standar pendidikan kesehatan disusun oleh menteri, meski dalam penyusunannya dapat melibatkan kolegium. Peran organisasi profesi dan kolegium menghilang. Padahal dalam UU Nomor 29 tahun 2004, standar pendidikan ditentukan bersama oleh Asosiasi Institusi Pendidikan, Kolegium, Asosiasi RS Pendidikan, Depdiknas dan Organisasi Profesi.
Standar kompetensi juga ditetapkan oleh menkes pada Pasal 197 ayat 3 RUU Kesehatan. Padahal, kompetensi adalah domain teknis dan profesional yang ranahnya ada pada kolegium. Kolegium menentukan apakah seorang tenaga kesehatan kompeten atau tidak dan bukan menkes.
Sedemikian jauh pengambil-alihan kompetensi ini hingga pengelolaan pendidikan atau pelatihan berkelanjutan lewat Satuan Kredit Profesi (SKP) juga dilakukan oleh menteri dan pemerintah daerah.
“Ini aneh, di negara-negara lain, wewenang penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan dilakukan oleh organisasi profesi atau provider, bukan oleh pemerintah," tukasnya.
Lalu, pada Pasal 239 draf RUU Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bertanggung jawab kepada menkes. Padahal sebelumnya KKI adalah badan otonom, independen, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“Penempatan menteri sebagai atasan KKI membuat lembaga penting ini menjadi kurang independen dan bargaining power-nya melemah," ujarnya.
Menurut Iqbal, hal tersebut menjadi aneh. Monopoli peran ini menggiring sistem kesehatan Indonesia mundur ke belakang menjadi model sentralisasi.
“Padahal dunia modern memutlakkan spirit kolaborasi dan inklusivisme, bukan monopoli dan eksklusivisme,” kata dia.
Hal senada diungkapkan pengacara publik LBH Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi. Ia menyatakan proses pendekatan RUU Kesehatan berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang-undangan buruk yang tidak transparan dan tak partisipatif.
“Artinya, proses legislasi dalam pembentukan RUU Kesehatan minim partisipasi bahkan dari kelompok profesi di bidang kesehatan itu sendiri. Pola ini sangat mirip dengan apa yang terjadi pada UU Cipta Kerja dan RUU Sisdiknas," kata Jihan melalui keterangan tertulis dikutip Rabu (14/12/2022).
Padahal jika melihat dalam Pasal 96 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), telah diatur bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, publik tidak dapat mengetahui informasi sudah berapa banyak pihak yang diundang dan memberikan masukan serta penyusunan Naskah Akademik yang harus berbasis analisis dampak regulasi. Bahkan, RUU Kesehatan yang beredar di masyarakat simpang siur kebenarannya.
Sebagaimana diatur dalam UU PPP dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai partisipasi publik yang bermakna, yaitu hak untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
“Tanpa ada keterbukaan, publik akan kesulitan berpartisipasi dalam prosesnya yang merupakan asas paling penting dalam pembentukan perundang-undangan,” kata dia.
Seharusnya, kata dia, DPR RI membuka ruang pembahasan seluas-luasnya untuk masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif agar pembentukan RUU Kesehatan dapat menjawab masalah kesehatan di Indonesia tanpa terkecuali. Lalu, Presiden Jokowi dan DPR RI juga perlu memperhatikan asas keterbukaan.
Alih-alih menyelesaikan sengkarut masalah kesehatan di Indonesia, pemerintah justru membentuk suatu aturan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat.
Realitanya, masih cukup banyak kasus-kasus terkait buruknya pelayanan kesehatan yang diadukan ke LBH Jakarta, seperti tertutupnya akses informasi terhadap pasien/keluarga pasien atas Standar Prosedur Operasional Rumah Sakit maupun rekam medis, masalah informed consent, hingga proses yang berlarut-larut dalam penanganan kasus malapraktik di Indonesia.
Indonesia juga belum adanya hukum acara MKDKI yang mampu memberikan kepastian hukum bagi pasien/korban. Lebih lanjut, hadirnya RUU ini menjadi pola keberulangan akan buruknya legislasi pembentukan peraturan perundang-undangan.
Padahal sebagaimana yang terjadi pada omnibus law UU Cipta Kerja, MK telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.
Oleh karena itu, kata dia, LBH Jakarta mendesak “Komisi IX DPR RI untuk memastikan proses perencanaan dan penyusunan RUU Kesehatan yang transparan dan partisipatif sebagaimana diwajibkan dalam Putusan MK dan UU PPP.”
DPR-Pemerintah akan Libatkan Publik
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris mengklaim pihaknya selalu bersedia mendengarkan aspirasi dari berbagai pemangku kebijakan, termasuk tenaga kesehatan, terkait pembahasan RUU Kesehatan.
“Termasuk apabila nanti disetujui di paripurna [menjadi RUU], pembahasannya harus komprehensif dan menguntungkan masyarakat banyak,” kata Charles melalui keterangan tertulis, Rabu (14/12/2022).
Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Kesehatan itu menuturkan, draf RUU Kesehatan yang beredar di masyarakat bukan berasal dari DPR.
“Bahwa sampai hari ini memang belum ada draf resmi dari RUU Kesehatan. Kalau yang beredar, ya kita juga nggak tahu siapa yang mengedarkan, isinya seperti apa, saya secara pribadi juga belum membaca, karena memang tahapannya belum sampai ke sana [draf RUU],” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Kepala Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, Nurdin mengatakan, pembahasan di Baleg DPR baru sebatas penyusunan Naskah Akademik. Dari Naskah Akademik inilah baru nanti disusun sebuah RUU.
“Jadi prosesnya masih RDPU [rapat dengar pendapat umum] untuk menyusun Naskah Akademik. Dan belum ada draf RUU. Proses menuju draf RUU masih lama,” kata Nurdin.
Ia mengaku, Baleg DPR sudah mengundang sebanyak 28 pemangku kebijakan untuk didengarkan aspirasinya terkait penyusunan Naskah Akademik Omnibus Law Bidang Kesehatan.
“Kami dengar masukan dalam RDPU selalu terbuka, karena kalau tertutup nanti salah sangka. Bahkan kami mendengar masukan secara online dari tenaga kesehatan di berbagai daerah, bahkan dari Papua,” jelas Nurdin.
Sedangkan Anggota Baleg DPR RI, Guspardi Gaus mengakui, RUU Kesehatan sudah masuk prolegnas. Soal siapa yang mengusulkan RUU Kesehatan, menurutnya itu merupakan hal teknis. DPR akan melihat mana yang perlu diprioritaskan dan mana yang tidak perlu.
“Jadi, jangan apriori dulu dengan RUU Kesehatan,” kata politikus PAN itu melalui keterangan tertulis, Rabu (14/12/2022).
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono mengatakan, omnibus law RUU Kesehatan penting direalisasikan demi menyederhanakan regulasi sekaligus memperkuat sistem kesehatan di Indonesia—dua hal yang disebutnya sebagai upaya transformasi kesehatan.
“Kementerian Kesehatan berharap agar upaya transformasi kesehatan dapat didukung melalui RUU terkait Kesehatan,” kata Dante saat rapat pleno bersama Baleg DPR membahas pembahasan RUU Kesehatan pada Selasa (22/11/2022).
Dante menerangkan, dari inventarisasi masalah yang dilakukan lembaganya, paling tidak ada enam masalah utama di bidang kesehatan Indonesia. Pertama, minimnya akses ke layanan primer di masyarakat. Sebagai contoh, 90 persen dari 171 kecamatan di Papua dan Papua Barat tidak punya puskesmas.
Kedua, kurangnya kapasitas pelayanan rujukan di rumah sakit. Masalah ketiga, adalah lemahnya ketahanan kesehatan. Keempat, pembiayaan kesehatan yang masih belum efektif.
Masalah kelima, kurang dan tidak meratanya SDM kesehatan. Terkahir atau keenam, masalah di sektor kesehatan Indonesia terletak pada minimnya integrasi teknologi kesehatan dan regulasi inovasi bioteknologi.