Pendapat PBNU dan Muhammadiyah Soal Pemotongan Gaji PNS untuk Zakat

Reporter: Addi M Idhomtirto.id - 07 Feb 2018 21:55 WIB
Diperbarui 08 Feb 2018 10:08 WIB

View non-AMP version at tirto.id

PBNU meminta pemerintah mengkaji ulang rencana pemotongan gaji PNS atau ASN muslim untuk zakat. Sedangkan PP Pemuda Muhammadiyah menilai pemerintah harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan ini.

tirto.id - Rencana Kementerian Agama (Kemenag) mendorong kebijakan pemotongan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) mengundang perhatian petinggi dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Kebijakan berupa pemotongan 2,5 persen dari gaji ASN Muslim untuk zakat itu memang baru digodok secara internal di Kementerian Agama untuk kemudian diajukan menjadi undang-undang. Akan tetapi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengkritik rencana ini.

Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini meminta Kemenag mengkaji ulang kebijakan tersebut. "Wacana kebijakan tersebut harus ditinjau ulang," kata Helmy di Jakarta, pada Rabu (7/2/2018) seperti dikutip Antara.

Menurut Helmy, persoalan kewajiban zakat merupakan kewajiban pribadi setiap muslim. Maka dalam menunaikan zakat, pelaksanaan kewajiban itu semestinya bersifat individual dan tidak perlu melibatkan negara.

"Tentang zakat setiap warga negara sebaiknya diserahkan kepada masing-masing individu. Negara tak perlu memaksa-maksa, karena Indonesia bukan negara agama. Begitu pula dengan salat, puasa, adalah urusan manusia dengan Tuhannya," kata Helmy.

Dia menambahkan penting juga untuk dikaji lebih dalam mengenai pertimbangan bahwa Indonesia bukan negara yang dikelola berdasar keyakinan agama tertentu. "(Indonesia) Negara yang bhinneka, kebijakannya juga harus memertimbangkan kebhinnekaan," ujar Helmy.

Catatan lain dari Helmy adalah soal mekanisme dan transparansi pengelolaan dana zakat yang sudah terkumpul. Bukan tidak mungkin hal itu menjadi masalah besar. "Belum lagi bagi sebagian ASN sudah memiliki pos-pos mustahik (penerima zakat) sendiri," kata dia.

Meskipun demikian, dia mengimbuhkan, jika pemerintah tetap menerapkan kebijakan pemotongan gaji ASN untuk zakat, maka sebaiknya kewajiban membayar zakat bisa terintegrasi dengan pajak.

"Kalaupun pemerintah ikut memfasilitasi zakat ASN, maka sebaiknya perlu dipikirkan pembayaran zakat itu dapat dikonversikan sebagai bagian dari pajak penghasilan," imbuhnya.

Muhammadiyah Minta Pemerintah Hati-hati di Kebijakan Zakat ASN

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak juga meminta pemerintah berhati-hati dalam menyusun peraturan mengenai pemotongan gaji ASN untuk zakat

"Jangan sampai PNS-PNS yang tidak wajib zakatpun dipotong penghasilannya," kata Dahnil hari ini.

Dia mengatakan jika hal itu terjadi maka negara berlaku zalim terhadap masyarakat. Untuk itu, dia menyarankan pemerintah membuat mekanisme yang ketat sehingga pemotongan gaji ASN menerapkan prinsip keadilan.

Menurut Dahnil, negara harus benar-benar mempertimbangkan unsur terpenuhinya haul dan nisab zakat ASN dalam menerapkan peraturan. Nisab adalah jumlah harta benda minimum yang dikenakan zakat. Sedangkan haul adalah jangka waktu satu tahun yang menjadi batas kewajiban membayar zakat bagi pemilikan harta kekayaan, seperti perniagaan, emas dan ternak.

"Ketika negara memotong gaji PNS sembarangan tanpa 'tebang pilih' mana yang mencapai nisab atau tidak, maka itu jelas perbuatan zalim. Kecuali negara memotong untuk sedekah misalnya, tapi sedekah tentu dengan kesukarelawanan tidak ada paksaan seperti zakat," kata dia.

Dahnil menjelaskan zakat bisa dibayar per bulan atau per tahun. Akan tetapi, banyak ulama yang menyarankan agar zakat dibayarkan setelah penghasilan diterima, artinya per bulan.

Menteri Agama: ASN Muslim Bisa Menolak Pemotongan Gaji untuk Zakat

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan semua ASN muslim tidak wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk zakat. Dia memastikan regulasi tentang optimalisasi penghimpunan zakat ASN Muslim hanya akan memfasilitasi para ASN untuk menunaikan zakat.

“Yang perlu digarisbawahi, tidak ada kata kewajiban. Yang ada, pemerintah memfasilitasi, khususnya ASN muslim untuk menunaikan kewajibannya berzakat,” kata Lukman dalam keterangan persnya hari ini seperti dirilis laman Kemenag.

Menurut dia, meski umat Islam adalah mayoritas, Indonesia bukan negara Islam. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler. Karena itu, pemerintah memfasilitasi pelayanan kebutuhan pengamalan ajaran agama. Misalnya, keterlibatan pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji.

“Demikian halnya dengan zakat. Yang mewajibkan adalah agama. Pemerintah memfasilitasi umat muslim untuk berzakat. Dalam konteks ini, negara ingin memfasilitasi ASN Muslim,” ujarnya.

Lukman menambahkan, “Bagi ASN muslim yang keberatan gajinya disisipkan sebagai zakat, bisa menyatakan keberatan. ASN yang akan disisipkan penghasilannya sebagai zakat, juga harus menyatakan kesediaannya. Jadi ada akad. Tidak serta merta pemerintah memotong zakatnya.”

Selain itu, menurut Lukman, pemotongan gaji ASN untuk zakat ini hanya berlaku bagi ASN muslim yang pendapatannya sudah mencapai nishab atau batas minimal penghasilan yang diwajibkan zakatnya. “Mereka yang penghasilannya tidak sampai nishab, tidak wajib berzakat. Jadi ada batas minimal penghasilan yang menjadi tolok ukur. Artinya tidak berlaku bagi seluruh ASN muslim,” kata Lukman.

Dia menjelaskan dana zakat itu akan dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh ormas Islam dan kalangan profesional lainnya. Dana itu akan disalurkan untuk kebutuhan pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat muslim serta mereka yang mengalami bencana. Lukman menaksir potensi zakat ASN muslim di Indonesia mencapai Rp10 triliun.

“Baznas dan LAZ setiap tahun diaudit akuntan publik. Melalui aturan ini, kami ingin menambahkan agar secara periodik mereka juag harus menyampaikan ke publik tentang progres penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Ini juga terkait trust atau kepercayaan,” kata Lukman.

Baca juga artikel terkaitZakat Pnsatau tulisan menarik lainnyaAddi M Idhom
(tirto.id - add/add)

Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom