tirto.id - Kita semua menghirupnya setiap hari, secara tak sadar saat berada di dalam apalagi di luar ruangan. Partikel tak kasat mata ini oleh para ahli kesehatan dinamai PM 2,5 atau Particular Matter 2,5, didasarkan pada ukurannya yang hanya mencapai 2,5 mikrometer. Ukurannya yang sangat kecil bisa diibaratkan hanya 3 persen dari diameter rambut manusia.
Saking kecilnya, Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa PM 2,5 bisa dengan mudah menembus masker yang biasa kita pakai. Warga kota Jakarta misalnya, terbiasa memakai masker harian berwarna hijau yang sesungguhnya tak mempan melawan PM 2,5. Saking ringannya partikel tersebut bisa berbentuk gas. Di sisi lain, masker N95 yang berwarna putih dan memiliki penyaring di bagian depan (respiratory mas) memang lebih efektif namun harganya lebih tidak terjangkau orang kebanyakan.
PM 2,5 dengan mudah ditemukan di berbagai tempat. Ia juga dengan gampang memasuki sistem pernapasan manusia. Itulah mengapa PM 2,5 menjadi partikel udara paling mematikan bagi manusia secara pelan-pelan tanpa korban sadari. PM 2,5 yang menumpuk di paru-paru dan organ lain bisa menyebabkan munculnya penyakit pernapasan, asma, hingga penyakit jantung. PM 2,5 juga ampuh untuk membuat penyakit-penyakit tersebut makin parah hingga bisa memicu kematian dini.
Dari mana PM 2,5 berasal? Dalam catatan Departemen Kesehatan New York, asal PM 2,5 bisa dibagi menjadi outdoor (di luar ruangan) dan indoor (di dalam ruangan). Dalam kategori outdoor, PM 2,5 ada di polusi asap mobil, truk, bus, dan kendaraan bermotor lain, termasuk hasil pembakaran kayu, minyak, batu bara, atau akibat kebakaran hutan dan padang rumput. Tak ketinggalan juga PM 2,5 juga dihasilkan secara masif oleh cerobong asap pabrik. Sedangkan yang dari dalam ruangan, PM 2,5 terkandung di asap rokok, asap memasak (goreng-bakar), membakar lilin atau minyak lampu, atau dari asap perapian.
Sejak beberapa tahun belakangan PM 2,5 sudah menjadi ancaman serius di Indonesia. Pada Februari-Maret lalu Greenpeace Indonesia melakukan pemantauan dengan meletakkan alat pemantau di 19 titik di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Kabar gembiranya, alat tersebut menghasilkan data yang kini bisa dilihat melalui aplikasi mobile UdaraKita. Kabar buruknya, kondisi pencemaran udara akibat konsentrasi PM2,5 di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sangat mengkhawatirkan.
Di kawasan perumahan seperti Cibubur, tingkat PM 2,5 rata-rata selama dua bulan terakhir berada di angka 103,3 mikrogram/meter kubik. Angka ini jauh dari ambang batas normal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 25 mikrogram/meter kubik atau standar minimum Baku Mutu Udara Ambien Nasional sebesar 65 mikrogram/meter kubik. Sementara itu di daerah Kebagusan angkanya mencapai 65,9 mikrogram/meter kubik dan di Gandul, Depok sebesar 71,5 mikrogram/meter kubik.
Hanya tiga titik yang memenuhi Baku Mutu Udara Ambien Nasional, yaitu Setiabudi (60 mikrogram/meter kubik), Permata Hijau (58 mikrogram/meter kubik) dan Utan Kayu (65 mikrogram/meter kubik).
Dengan menggabungkan analisis risiko dari Global Burden of Disease Project yang dilaksanakan The Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dan tingkat PM 2,5 tahunan, perhitungan Greenpeace menunjukkan ada peningkatan risiko kematian karena penyakit tertentu pada berbagai tingkat PM 2,5 tahunan. Risiko kematian akibat stroke meningkat hampir 2,5 kali lipat di Cibubur dan sekitar dua kali lipat di wilayah Tambun, Setiabudi, Citayam, Ciledug, Kebagusan, Depok, Cikunir, Jatibening, dan Warung Buncit.
Polusi udara, terutama yang sangat halus seperti PM 2,5, amat berbahaya bagi kesehatan terutama kelompok rentan seperti bayi, anak-anak, ibu hamil dan lanjut usia. Penyakit yang dapat terjadi akibat PM 2,5 yang tinggi ini antara lain stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan, kanker dan penyakit paru kronis.
Khusus untuk penyakit pernapasan, PM 2,5 menjadi partikel yang dapat memperparah dengan lebih cepat sebab dapat mengendap pada saluran pernafasan daerah bronki dan alveoli. PM 2,5 lebih berbahaya dari partikel 10 karena tidak disaring dalam sistem pernapasan bagian atas dan menempel pada gelembung paru, sehingga dapat menurunkan kemampuan paru-paru dalam pertukaran gas.
Sejumlah peneliti dari Harvard University dan Columbia University yang pada dua tahun lalu menerbitkan sebuah riset di Jurnal Enviromental Research. Studi tersebut mempertimbangkan dampak kesehatan pada orang dewasa dan terbatas pada efek partikel halus PM 2,5 yang mengancam kesehatan manusia. Estimasi kematian dini secara statistik dalam penelitian tersebut berkisar antara 26.300 hingga 174.300. Angka rata-ratanya adalah 100.300 kematian dini.
Kematian dini adalah kematian yang terjadi sebelum seseorang mencapai usia harapan dan sebenarnya bisa dicegah. Angka tersebut muncul usai kasus kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan dan saat itu menjadi sensasi internasional. Setelah dielaborasi lebih lanjut, korban meninggal rupanya tak hanya dari Indonesia. Sebanyak 91.600 kematian dini diprediksikan terjadi di Indonesia, dan sisanya yakni 6.500 terjadi di Malaysia dan 2.200 di Singapura.
PM 2,5 Membunuh Dunia
Dalam sebuah riset yang dirilis pada Senin (10/4/2017) di Jurnal Lancet diketahui bahwa India dan Cina adalah dua negara dengan tingkat kematian dini akibat polusi PM2,5. Dalam studi tersebut, sebagaimana dilaporkan ulang Hindu Times, dari total kematian dini global, 52 persennya ada di Cina dan India. Cina memegang rekor dengan 1108 kematian dan India dengan 1.090 kematian.
Rata-rata partikel PM 2,5 di daerah dengan populasi padat di India naik dari 59 mikrogram/meter kubik di tahun 1990 menjadi 73 mikrogram/meter kubik di tahun 2015. Angka ini sudah empat kali lipat di atas ambang batas normal/aman. Namun, dalam penelitian ini kematian tertinggi tak mesti memiliki PM 2,5 terbanyak. Konsentrasi PM 2,5 terbanyak di level global justru ada di Qatar dengan kandungan sebesar 107,3 mikrogram per meter kubik, demikian ditulis dalam hasil riset.
Kematian dini akibat polusi PM 2,5 di tingkat global juga meningkat sejak 1990 hingga 2015. Dari yang sebesar 3,5 juta di tahun 1990 menjadi 3,8 juta di tahun 2000 dan pada 2015 sudah menyentuh angka 4,2 juta jiwa.
Permasalahan di India, Cina, Bangladesh, dan Jepang adalah peningkatan paparan PM 2,5 dikombinasikan dengan peningkatan pertumbuhan populasi dan penuaan menghasilkan tingkat kematian yang besar. Paparan polusi udara, sebagaimana tertulis di riset, meningkatkan jumlah orang sakit dan orang mati dini. Paparan polutan ozon yang dihasilkan kendaraan, pembangkit listrik, dan industri menyebabkan 254.000 kematian di tingkat global.
Jika PM 2,5, saking kecilnya, tetap bisa menembus masker, bagaimana solusinya agar kita tetap terhindar dari beragam penyakit saat di dalam maupun di luar rumah?
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa pemakaian masker memang bisa jadi solusi sementara yang mudah dan murah diakses, namun belum mengatasi sumber permasalahan. Cara terbaik, baginya, tentu saja dengan menghilangkan sumber polutan.
“Sumber pembakaran yang harus dihindari, misalnya aktivitas membakar sampah, menggunakan kendaraan pribadi, atau menggunakan energi kotor batu bara,” kata Bondan dalam rilis persnya. Greenpeace memiliki perhatian yang besar bagaimana industri besar hingga yang kecil turut menyumbang permasalahan partikel PM 2,5 ini sebab tak diberlakukan aturan yang tegas.
Pemerintah, dalam pandangan Greenpeace, mesti tanggap akan permasalahan ini sebelum menelan lebih banyak korban ke depannya. Pemerintah harus memasang alat pemantau kualitas udara serta menyajikan data hasil pemantauan yang bisa diakses oleh publik.
Berbekal informasi tersebut, pemerintah juga perlu merancang dan menerapkan strategi untuk mengurangi polusi udara dengan mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum, memperbesar porsi penggunaan energi baru-terbarukan, serta memperketat regulasi emisi khusus untuk sektor pembangkit.