Mengapa Pelajaran Sejarah Tak Disukai

Reporter: Petrik Matanasitirto.id - 14 Oct 2016 14:47 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Pelajaran Sejarah sebetulnya kaya dengan referensi kehidupan ini. Namun, cara pembelajaran yang penuh hafalan telah menjauhkan sejarah dari generasi muda Indonesia.

tirto.id - “Saya tidak kuat hafalan,” begitu keluhan sebagian siswa di sekolah terkait pelajaran sejarah.

Banyak yang berpikiran, sejarah adalah pelajaran menghafal tanggal dan nama belaka. Materi yang diajarkan juga dianggap terlalu banyak. Itulah yang membuat pelajaran sejarah seperti neraka tambahan di sekolah, sehingga tidak disukai oleh sebagian besar siswa.

Sesungguhnya, hampir seluruh pelajaran mewajibkan siswa untuk menghafal. Seperti pelajaran Agama Islam yang mengharuskan siswa hafal banyak doa atau surat pendek. Namun, itu semua jelas berguna bagi siswa yang bersangkutan. Demikian pula pelajaran kimia juga mengharuskan siswa menghafal rumus atau simbol zat-zat kimia. Tidak ada masalah jika siswa yang menghafalnya akan mendalami sains atau teknik.

Namun, mengapa pelajaran menghafal sejarah seperti beban besar bagi kebanyakan siswa? Barangkali karena menghafal tanggal dan nama dalam sejarah tidak banyak bersentuhan dengan kehidupan mereka setelah ujian. Apalagi setelah sukses menghafal banyak hal dalam peristiwa sejarah, ternyata muncul perdebatan ternyata apa yang sudah dihafalkan itu tidak sesuai dengan fakta.

Tidak Membuat Anak Belajar Dari Sejarah

Waktu sekolah dulu, salah satu bocah nakal Italia bernama Benito Amilcare Andrea Musolini, begitu menyukai pelajaran sejarah. Nilai sejarahnya, juga bahasa dan sastra Italia di rapor adalah yang tertinggi. Sejarah Italia membuat Musolini punya mimpi dan ambisi besar mengembalikan kejayaan Italia seperti di masa Romawi, Italia la prima.

Alexander Agung, justru belajar sejarah Perang Troya, dari ceritera Iliad karya Homerus. Lepas dari masalah akurasi kebenarannya, sejarah yang direnungkannya dari Iliad, Alexander Agung punya motivasi untuk menjadi ksatria tangguh macam Achiles si pahlawan Yunani dalam perang tersebut. Semua tahu, Alexander Agung sebelum mati muda telah menaklukkan banyak wilayah di sekitar Eropa dan Asia.

Baik Musolini maupun Alexander, tidak bermaksud untuk hafal segala hal dari pelajaran yang mereka baca. Rasa penasaran, membuat mereka membaca, bahkan lebih banyak dari yang lain, hingga tak terasa mereka seperti hafal di luar kepala. Sayangnya, tidak semua Tsiswa punya rasa penasaran yang sama. Mereka yang tidak memiliki rasa penasaran yang besar terhadap sejarah akhirnya seperti terjebak untuk menghafalkan.

Padahal, esensi dari belajar sejarah tak lain adalah menggali nilai-nilai dalam peristiwa sejarah atau belajar bagaimana tokoh sejarah menghadapi hidup dan membuat sejarah. Misalnya, dari peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, seorang guru harusnya bisa menggali soal betapa pentingnya harga diri sebuah bangsa meski hanya bersenjata golok dalam melawan pasukan tangguh dunia yang baru saja menang Perang Dunia II. Juga belajar dari Syahrir, meski negara baru merdeka dan masih serba kekurangan bukan berarti tidak boleh membantu rakyat kelaparan di India. Dari Mayor Abdullah, tokoh Pertempuran 10 November 1945, seorang guru harusnya bisa menerangkan bagaimana seorang pemuda tukang becak yang buta huruf bisa jadi komandan yang begitu dihormati.

Sejarah harusnya bisa menanamkan semangat juang anak-anak untuk berjuang meraih impiannya. Guru bisa mengajak anak-anak dengan belajar dari Gajah Mada yang pantang makan buah palapa sebelum mempersatukan nusantara, atau soal Hatta yang pantang menikah sebelum Indonesia merdeka. Bercerita tanpa panjang lebar disertai tanya jawab, asal hal yang diceritakan tak melulu yang ada di buku, siswa biasanya mau mendengar. Karena apa yang ada di buku bisa dibaca di rumah. Tentu saja, apa yang diceritakan bukan untuk dihafal tapi jadi bahan renungan bersama.

Beredarnya film-film sejarah di Youtube tentu bisa membantu siswa untuk belajar dari sebuah peristiwa atau tokoh sejarah. Namun, lagi-lagi, pembelajaran sejarah selalu terpaku pada kurikulum sejarah yang kaku, diulang-ulang dari SD, SMP hingga SMA itu-itu saja dan tolok ukurnya hafalan lagi. Jika menjawab tidak sesuai dengan pemahaman sang guru, murid cenderung disalahkan atau dianggap gagal. Soal yang digunakan biasanya pilihan ganda atau esai, yang harus mirip kata guru.

Mencari nilai-nilai atau menggali semangat-semangat positif untuk berjuang menghadapi hidup bukan tujuan yang sering dicapai dunia pendidikan Indonesia. Nilai yang berupa angka selalu menjadi tolak ukurnya. Tanpa menggali semangat dan nilai-nilai positif dalam sejarah, dan hanya sekadar memburu nilai saja, guru dan siswa hanya belajar sejarah tanpa belajar dari sejarah.

src="https://mmc.tirto.id/image/2016/10/14/sejarah.jpg" width="860" /

Fatalnya Belajar Sejarah Selalu Hafalan

Meskipun banyak orang yang peduli pada pendidikan sepakat bahwa memahami jauh lebih penting, nyatanya menghafal begitu dominan dalam pelajaran sejarah. Hafal tidaknya siswa pada nama-nama tokoh atau tempat juga tanggal sering kali menjadi tolak ukur penguasaan materi pembelajaran sejarah di sekolah. Siswa yang lemah hafalannya bisa dapat nilai rendah di raport, meski sudah bekerja mati-matian. Padahal tak semua orang punya memori yang baik.

Nyaris menjadi pendapat umum, meski menyesatkan, bahwa sejarah adalah pelajaran menghafal. Banyak anak-anak sekolah membenci pelajaran ini. Bahkan bocah yang semula suka pada sejarah karena pengalaman jalan-jalan ke museum atau menonton film sejarah, bisa hilang rasa sukanya pada sejarah begitu di sekolah dijejali banyak hafalan. Kecuali ketika ujian sejarah, hafalan itu tidak berguna di masa depan.

Rupanya, tak hanya opini anak masyarakat saja yang menyebut sejarah pelajaran hafalan, tapi juga para ahli pendidikan. Perington, dalam The Idea of an Historical Education (1980) menuliskan, sejarah sangat didominasi oleh pengajaran hafalan. Sebagian karena punya pendapat fakta sangat penting dalam peristiwa sejarah, jadi dirasa perlu dihafal.

Padahal, jika lupa pada nama tokoh, tempat, peristiwa atau tanggal dalam kehidupan sehari-hari cukup membuka lagi buku sejarah, ensiklopedi atau mencari lewat mesin pencari pun bukan masalah. Hal yang dilupakan tadi bisa ditemukan lagi. Jadi menghafal itu tidak esensial dalam pembelajaran sejarah, meski terus menerus diterapkan oleh dunia pendidikan Indonesia.

Sudah bukan hal yang aneh, ketika sudah lulus sekolah, seorang mantan siswa menemukan bahwa apa yang diajarkan, juga dihafalkannya, di sekolah dulu salah. Misalkan, soal penyiksaan di Lubang Buaya. Di sekolah diajarkan oleh guru dan buku sejarah, penyiksaan itu ada. Namun setelah membaca pengakuan dokter yang melakukan otopsi soal tidak adanya penyiksaan, apa yang diajarkan di sekolah guru runtuh sudah. Efek panjang hal ini, bisa membuat kepercayaan masyarakat terhadap guru dan sekolah juga berkurang.

Sudah hal biasa di Indonesia, apa yang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan, tetapi sudah jadi sesuatu yang harus dihafal. Seolah sudah dianggap fakta oleh pembuat kurikulum. Guru Besar Sejarah, Universitas Indonesia Prof Dr Susanto Zuhdi mengatakan, penyusunan kurikulum mata pelajaran sejarah pendidikan dasar dan menengah tidak melibatkan sejarawan.

Tak hanya soal banyak hafalan. Pelajaran ini tidak aktraktif, karena guru sejarah kebanyakan mendongeng ketika menyampaikan materi. Padahal buku sejarah yang berisi materi yang didongengkan sang guru itu, mudah didapat sekarang. Mendongeng satu arah, seringkali membuat siswa mengantuk dan tidak bisa menangkap pelajaran. Apalagi jika pelajaran ini ditempatkan di jam terakhir. Seringkali, pelajaran yang dianggap pelengkap ini terdiskriminasi di sekolah-sekolah, demi nilai UN yang lebih tinggi. Pelajaran sejarah pun terus terpuruk di mata anak-anak. Jika dibiarkan, sejarah hanya akan tercatat di lembar-lembar buku tanpa pernah diingat oleh generasi terbaru.

Baca juga artikel terkaitPelajaran Sejarahatau tulisan menarik lainnyaNurul Qomariyah Pramisti
(tirto.id - nqm/pet)

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti