Membedah Mesin Ekonomi Negara di ASEAN, Siapa Berlari Kencang?

Penulis: Dea Chadiza Syafina tirto.id - 14 Aug 2018 09:06 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Konsumsi rumah tangga masih akan menjadi sumber kekuatan utama pertumbuhan ekonomi negara-negara kawasan Asia-Pasifik termasuk Indonesia.

tirto.id - Target pertumbuhan ekonomi rezim Jokowi saat masa-masa kampanye pada 2014 harapannya bisa menembus 7 persen sebelum 2019. Namun, setelah hampir empat tahun berkuasa, target tersebut belum pernah kesampaian. Jelang Pilpres 2019, target yang tidak tercapai itu tentunya bakal jadi sasaran empuk kubu penantang petahana.

Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir angka pertumbuhan ekonomi yang lebih menggeliat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada triwulan II-2018, ekonomi Indonesia mencapai titik tertinggi di bawah pemerintahan Jokowi sebesar 5,27 persen.

“Ini bagus sekali. Lebih tinggi dibandingkan triwulan I-2018 yang sebesar 5,06 persen dan triwulan II 2017 yang sebesar 5,01 persen,” kata Kepala BPS Suhariyanto.

Seperti biasa, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Pengeluaran konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2018 tumbuh sebesar 5,14 persen. Komponen pengeluaran rumah tangga bahkan menyumbang kontribusi terbesar dengan bobot mencapai 55,43 persen dalam struktur produk domestik bruto (PDB). Momentum hari raya Idul Fitri, THR bagi PNS, dan juga bantuan sosial (bansos) dari pemerintah jadi penyelamatnya. Ini menunjukkan aspek konsumsi pemerintah saling terkait juga menopang geliat ekonomi.

Konsumsi pemerintah, pada realisasi belanja dalam APBN pada kuartal II-2018 tercatat sebesar Rp523,7 triliun atau setara dengan 23,58 persen dari pagu APBN 2018. Pengeluaran pemerintah tersebut memiliki kontribusi sebesar 8,5 persen dari PDB. Konsumsi rumah tangga memang masih dominan sebagai struktur ekonomi Indonesia, di luar belanja pemerintah, ekspor-impor, dan investasi.

Konsumsi rumah tangga menurut catatan Bank Dunia dalam laporan berjudul Learning More, Growing Faster Indonesia Economic Quarterly (PDF) yang terbit pada Juni 2018, menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 11 kuartal atau selama tiga tahun terakhir dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5 persen. Sampai dengan akhir tahun ini, Bank Dunia memperkirakan tingkat konsumsi rumah tangga Indonesia akan tetap stabil didukung oleh terkendalinya angka inflasi.

“Pertumbuhan penjualan ritel di Indonesia akan terlihat tinggi tahun ini, di mana merupakan antisipasi tahun politik berupa pemilihan Presiden di tahun 2019 mendatang. Penjualan ritel sebelum tahun politik diperkirakan akan mengangkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun depan,” tulis dokumen (PDF).

Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) berdasarkan data BPS, merupakan komponen dengan sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 2,76 persen terhadap PDB menurut pengeluaran. Secara tahunan, angkanya konsumsi rumah tangga pada kuartal II/2018 mencapai 5,14 persen.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia per triwulan II/2018 menyumbang 55,64 persen terhadap struktur PDB. Diikuti selanjutnya oleh pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang menyumbang 31,36 persen, ekspor barang dan jasa mencapai 19,14 persen, dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang sebesar 8,61 persen.

Selain Indonesia, beberapa negara ASEAN memang masih menggantungkan ekonomi dari konsumsi rumah tangga. Di Malaysia misalnya, pada laman resmi Departemen Statistik Malaysia menyebutkan konsumsi rumah tangga menyumbang 55,1 persen terhadap PDB Malaysia pada kuartal I-2018 yang tumbuh sebesar 5,4 persen. Tahun 2017, pertumbuhan ekonomi Malaysia juga disumbang oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 53,7 persen terhadap PDB.

“Konsumsi rumah tangga Malaysia pada kuartal I-2018 tumbuh sebesar 6,9 persen, melemah sedikit dibanding kuartal IV-2017 yang sebesar 7 persen. Secara kuartal, konsumsi rumah tangga Malaysia tumbuh sebesar 2 persen dan utamanya disumbang oleh makanan, minuman non-alkohol, komunikasi, restoran dan hotel, serta perumahan,” tulis Dato Sri Mohammad Uzir Mahidin, Kepala Departemen Statistik Malaysia.

Analisis Mizuho Research Institute juga mengatakan, konsumsi rumah tangga akan berfungsi mendukung pertumbuhan PDB Malaysia sepanjang 2018 ini di tengah perlambatan ekspor. “Laju ekspor andalan Malaysia yaitu semikonduktor cenderung melambat, sehingga konsumsi rumah tangga diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi meski diperkirakan lebih lambat dibanding 2017,” tulis Mizuho dalam risetnya (PDF).

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/08/09/pertumbuhan-ekonomi-asean--mild--fuad-01.jpg" width="860" alt="Infografik pertumbuhan ekonomi ASEAN" /

Berbeda dengan Indonesia, kinerja ekspor Malaysia masih bisa diandalkan untuk menyumbang pertumbuhan ekonomi, karena lebih tinggi dibanding impor. Pada tiga bulan pertama 2018, ekspor Malaysia memang tumbuh sebesar 3,7 persen yang disumbang oleh industri barang konsumsi yang tumbuh 5,8 persen secara tahunan dengan nilai mencapai RM237,6 miliar. Produk ekspor utama Malaysia adalah barang elektronik yang menyumbang 37,1 persen terhadap keseluruhan ekspor barang konsumsi atau setara dengan RM88,1 miliar.

Ekspor minyak mentah menjadi andalan Malaysia berikutnya dalam menambang devisa dengan pertumbuhan mencapai 8 persen atau setara RM8,5 miliar. “Produk ekspor utama lainnya adalah minyak kelapa sawit, produk berbasis minyak kelapa sawit, produk olahan minyak mentah serta gas alam cair,” jelas Dato Sri Mohammad Uzir Mahidin. Sedangkan impor Malaysia pada tiga bulan pertama 2018 justru berkurang 0,8 persen secara tahunan dibandingkan dengan angka impor per kuartal IV-2017 yang tumbuh 14,4 persen.

Tingginya angka ekspor membuat Bank Dunia menaikkan target PDB Malaysia dari sebelumnya 5,2 persen menjadi 5,4 persen. “Kekuatan kinerja ekspor Malaysia diperkirakan akan terus berlanjut hingga semester I tahun ini seiring dengan peningkatan siklus perdagangan global,” kata perwakilan Bank Dunia dalam paparan East Asia and Pacific Economic Update seperti diwartakan New Straits Times.

Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, Negeri Jiran Singapura justru penopang ekonominya berasal dari geliat industri. Pertumbuhan ekonomi Singapura pada kuartal II-2018 ditopang oleh industri manufaktur yang tumbuh mencapai 9,8 persen. Ekspor barang dan jasa Singapura mencapai $206,06 miliar. Sedangkan konsumsi rumah tangga hanya sebesar $40,47 miliar dan belanja pemerintah hanya senilai $9,90 miliar sepanjang triwulan II-2018. Jelas nampak, konsumsi rumah tangga bukan penopang ekonomi Singapura, melainkan manufaktur.

Sehingga tak mengherankan posisi Singapura dalam Global Manufacturing Competitiveness Index 2016 (PDF) ada di 10 besar dengan skor 68,4 poin dari 100 poin yang merupakan skor tertinggi. Di antara negara-negara ASEAN, Singapura memang memimpin di sektor industri manufaktur, diikuti selanjutnya oleh Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia. Singapura menjadi salah satu negara eksportir manufaktur berteknologi tinggi dan memiliki dampak yang signifikan terhadap industri manufaktur kawasan Asia Pasifik.

Singapura memiliki tenaga kerja berpendidikan tinggi, ramah investasi dan iklim usaha, insentif tinggi untuk riset dan pengembangan (R&D), serta infrastruktur dengan kualitas tinggi. Namun, Malaysia memiliki kelebihan di industri ini, dengan basis biaya rendah untuk upah pekerja yang hanya sebesar seperempat dari Singapura.

Departemen Perdagangan dan Industri Singapura (PDF) menyatakan, sektor elektronik, rekayasa presisi dan kluster kimia menjadi pendorong utama pertumbuhan industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi Singapura yang bertumpu pada industri manufaktur justru dikhawatirkan sejumlah ekonom.

Irvin Seah, Ekonom DBS misalnya, mengharapkan mesin penggerak utama pertumbuhan ekonomi negeri Merlion ini bisa beralih ke sektor jasa. “Sebab, industri manufaktur akan tumbuh moderat karena kondisi ekonomi global kembali normal. Namun, kekuatan sektor jasa kemungkinan akan terus bertambah karena sentimen positif dari pemulihan ekonomi global ke sektor domestik,” ucapnya seperti dilansir dari The Straits Times.

Riset yang dilakukan oleh Brand Marketing Institute (BMI) Research yang merupakan bagian dari Fitch Group memperkirakan pertumbuhan ekonomi Singapura sampai dengan akhir tahun mendatang diperkirakan sebesar 3 persen. “Karena pertumbuhan sektor manufaktur hanya akan tumbuh moderat seiring dengan kenaikan tingkat suku bunga acuan yang memberikan tekanan kepada pertumbuhan ekonomi,” tulis BMI Research seperti diwartakan The Straits Times.

Mizuho Research Institute dalam 2018 Economic Outlook for Major Emerging Market (EM) Countries (PDF) memperkirakan laju pertumbuhan PDB riil Singapura 2018 akan melambat. Sebab, kinerja ekspor akan menurun seiring kekhawatiran meningkatnya eskalasi perang dagang yang menambah risiko perdagangan internasional dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Di samping itu, pembatasan investasi swasta juga diperkirakan akan menghambat pertumbuhan ekonomi Singapura.

Ekonomi Bergantung Pada Rumah Tangga

Masing-masing negara di kawasan punya keunggulan, negara yang punya penduduk besar seperti Indonesia, tentu konsumsi rumah tangga memang jadi kekuatan roda ekonomi. Di sisi lain, proses nilai tambah industri dengan ditandai masuknya investasi dan peningkatan ekspor masih jadi pekerjaan rumah. Ini perlu jadi perhatian, terutama dari ekspor yang belum bernilai tambah.

PBB dalam laporan berjudul World Economic Situation and Prospects 2018 (PDF) mengungkapkan dalam jangka pendek, pertumbuhan ekspor negara kawasan Asia diperkirakan akan melambat mengingat berkurangnya permintaan impor. Perbaikan iklim usaha, laju investasi serta konsumsi rumah tangga, akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi ASEAN.

“Negara yang menggantungkan diri dari ekspor komoditas menurut akan mengalami tantangan berat di tahun ini karena booming harga komoditas diperkirakan sulit terjadi,” tulis laporan tersebut (PDF).

Indonesia sebagai salah satu negara yang bergantung daru ekspor komoditas patut mewaspadai hal ini. Sektor manufaktur menjadi salah satu yang harus diperbaiki, karena Indonesia dianggap memiliki potensi sebagai pasar baru investasi manufaktur mengalahkan Cina di masa depan. Biaya tenaga kerja yang kurang dari seperlima Cina, menarik perhatian investor asing sebagai tempat investasi alternatif berbiaya rendah.

“Dalam 10 tahun, pertumbuhan produktivitas manufaktur Indonesia bisa melebihi Thailand, Malaysia dan juga Vietnam,” tulis Deloitte dalam Global Manufacuring Competitiveness Index 2016 (PDF).

Indonesia berada di urutan 19 dalam indeks manufaktur 2016 dengan skor 55,8 poin. Pada 2020, diperkirakan Indonesia sanggup naik 4 peringkat menjadi urutan 15 dengan skor 61,9 poin di indeks manufaktur. “Indonesia diharapkan dapat menembus posisi 15 negara teratas di bidang daya saing manufaktur selama lima tahun ke depan dan bisa menjadi ‘Cina Baru’ bersama dengan Malaysia, India, Thailand, dan juga Vietnam, dalam hal biaya tenaga kerja yang rendah, peningkatan daya saing manufaktur yang tangkas didukung penggunaan teknologi tinggi, serta pertumbuhan pasar,” tulis Deloitte (PDF).

Ketahanan konsumsi rumah tangga menurut United Nation Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) dalam laporan Economic and Social Survey of Asia and the Pacific 2018, Mobilizing finance for sustainded, inclusive and sustainable economic growth (PDF) masih akan menjadi sumber kekuatan utama pertumbuhan ekonomi negara-negara kawasan Asia-Pasifik yang diproyeksikan tumbuh sebesar 5,5 persen pada 2018 dan 2019.

Oleh karena itu, kenaikan upah kerja yang didukung oleh peningkatan produktivitas dapat mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga sehingga mengurangi kesenjangan sosial dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang lebih merata. Kelebihan ekonomi bergantung dari konsumsi rumah tangga cenderung stabil.

"Kalaupun negara lain mengalami krisis, masyarakat Indonesia tetap akan membelanjakan uang untuk memenuhi kebutuhan," kata Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas kepada Tirto.

Namun, untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan, maka pertumbuhan investasi adalah cara yang tepat. Dengan masuknya investasi akan ada efek domino seperti tersedianya lapangan kerja, peningkatan keahlian tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan barang jadi sehingga bisa mengurangi importasi dan juga peningkatan daya saing produk.

Artinya pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada rumah tangga harus diimbangi dengan basis ekonomi nilai tambah lewat investasi dan manufaktur, sehingga akan memutus ketergantungan pada impor. Di sisi lain mengandalkan ekspor juga tak kalah rentan karena berisiko kena dampak kondisi ekonomi global.

Krisis 2008 jadi pelajaran bagaimana negara-negara yang ekonominya bergantung pada ekspor rontok, sedangkan Indonesia relatif selamat karena ditopang oleh konsumsi rumah tangga domestik. Namun, kini saat Indonesia mengalami defisit perdagangan karena lebih banyak impor dan tekanan rupiah terhadap dolar menjadi tantangan bagaimana menata kembali struktur ekonomi.

Baca juga artikel terkait Pertumbuhan Ekonomi atau tulisan menarik lainnya Suhendra
(tirto.id - dra/dcs)

Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra