Ma'ruf Amin di Antara Fatwa MUI dan Posisi Wakil Presiden

Reporter: Lalu Rahadiantirto.id - 15 Aug 2018 11:30 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Jika menjadi wapres, Ma'ruf harus berdiri di atas kepentingan semua golongan, bukan hanya bagi umat Islam seperti saat ia memimpin MUI

tirto.id - Ma'ruf Amin dianggap bisa memposisikan diri sebagai wakil presiden yang menjadi milik semua golongan jika terpilih dalam Pemilu Presiden 2019.

Anggapan itu disampaikan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Lukman Edy menanggapi kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Ma’ruf akan tetap bersikap sesuai fatwa yang pernah ia keluarkan selama menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Posisi politik beliau bagaimana melindungi minoritas, menyalurkan aspirasi mayoritas,” kata Lukman di Posko Pemenangan Jokowi-Ma'ruf, Menteng, Jakarta, Rabu (15/8/2018).

Salah satu fatwa yang dikeluarkan adalah terkait kelompok Ahmadiyah. Fatwa terhadap Ahmadiyah ini diterbitkan pada 28 Juli 2005 dan isinya lebih keras dari petuah Munas MUI II pada 1980 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai “aliran di luar Islam.”

Pada fatwa 2005 ini Ahmadiyah dinyatakan sebagai aliran “sesat dan menyesatkan,” “orang Islam yang mengikutinya adalah murtad,” dan mendesak pemerintah Indonesia “… melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.”

Selain soal Ahmadiyah, Ma’ruf juga ikut terlibat dalam fatwa pernikahan beda agama haram dan tidak sah, serta Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah aliran sesat.

Tak hanya terlibat dalam penerbitan sejumlah fatwa, Ma’ruf juga ikut punya andil dalam menyusun Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Rumah Ibadah dan menyarankan Presiden RI Ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan SKB anti-Ahmadiyah.

Yang paling fenomenal, Ma'ruf adalah orang yang berada di balik fatwa penodaan agama yang menyeret Basuki Tjahaja Purnama ke penjara pada 2016.

Fakta-fakta di atas tak diambil pusing Lukman. Menurutnya, Ma'ruf dapat mengubah sikapnya dan menempatkan diri untuk kepentingan bangsa saat nanti resmi menjadi wapres.

“Jadi ini mohon dipahami betul posisi Pak Ma'ruf Amin. Pemahaman beliau terhadap semua fatwa yang sudah dikeluarkan itu komprehensif,” kata Lukman.

Fatwa Tak Berubah dan Mengikat Ma’ruf

Lukman boleh saja memberi penjelasan Ma’ruf akan berubah. Akan tetapi, Wakil Ketua Komisi Hukum Perundangan MUI Ikhsan Abdullah menyebut bahwa fatwa yang dibuat saat Ma’ruf menjabat Ketua Umum MUI tak berubah. Penyesuaian hanya bisa dilakukan jika ada kondisi yang berbeda antara hari ini dengan konteks saat fatwa keluar dulu.

“Fatwa tidak bisa tidak berlaku, kecuali ada keadaan yang tak sesuai lagi dengan konteks saat fatwa dikeluarkan, nanti ditinjau ulang,” kata Ikhsan kepada Tirto.

Ia mencontohkan, saat ini MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam boleh melakukan vaksinasi asal menggunakan komposisi yang halal. Akan tetapi, jika ada sebuah endemi dan keadaan darurat, tetapi obatnya belum halal, pengobatan dapat dilakukan.

Ia juga menyebut soal fatwa MUI ihwal pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu. Menurutnya, fatwa MUI soal pernyataan Ahok tak bisa lagi diterapkan sekarang karena yang bersangkutan telah mendapat hukuman atas perbuatannya.

“Konteksnya saat itu Ahok melakukan itu [penistaan agama]. Tapi sekarang enggak perlu lagi kan, jadi jangan diterus-teruskan,” kata Ikhsan.

Sementara terkait ikatan fatwa, Ikhsan menyebut, pembuat terikat dengan fatwa. Dalam konteks Ma’ruf Amin, Ikhsan menyebut, calon wakil presiden itu terikat dengan fatwa lantaran ia merupakan bekas Ketua Komisi Fatwa dan Ketua MUI saat ini.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/08/13/02-minoritas-di-mata-maruf-amin--indepth--lugas_2.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Post Islamisme" /

Tantangan Bagi Jokowi dan Ma'ruf

Keterangan dari Ikhsan memberi gambaran tentang bagaimana posisi Ma’ruf nantinya jika terpilih menjadi wapres. Situasi ini dinilai Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI Aditya Perdana menjadi tantangan bagi Rais ‘Am PBNU ini dalam memposisikan diri jika nantinya terpilih sebagai wapres.

Pada satu sisi, Ma’ruf akan dituntut untuk bisa memposisikan diri sebagai wapres milik semua golongan, sementara pada sisi lain dia terikat dengan fatwa yang ia terbitkan untuk umat Islam.

“Itu harus dinegosiasikan,” kata Aditya kepada Tirto.

Dalam konteks sebagai wapres—jika nanti Ma'ruf terpilih—Aditya mengatakan Ma'ruf harus bisa menjadi jembatan antarkepentingan dan golongan. Dengan kondisi seperti itu, Aditya menaksir, bukan tak mungkin pandangan dan sikap Ma’ruf nantinya berbeda dengan apa yang sudah ia keluarkan saat masih di MUI.

Secara terpisah, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengkhawatirkan rekam jejak Ma’ruf ini. Dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto, Naipospos mengatakan dirinya memang menghormati dipilihnya Ma’ruf sebagai pendamping Jokowi, tapi Ma’ruf adalah sosok yang memiliki pandangan keislaman konservatif.

“Dalam perspektif kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), sebagai hak dasar yang dijamin UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, rekam jejak Ma’ruf Amin cenderung menunjukkan beban dan rintangan bagi pemenuhan hak-hak KBB dan pemajuan toleransi pada umumnya,” kata Naipospos, Sabtu akhir pekan lalu.

Selain itu, kata dia, banyak pandangan MUI dan Ma’ruf Amin yang menunjukkan konservatisme dan menghalangi pemajuan dan pemenuhan hak konstitusional kelompok minoritas.

Kondisi ini, kata dia, berpotensi menambah beban bagi realisasi Nawa Cita jika Jokowi terpilih pada Pilpres 2019. Untuk itu, ia mengharapkan Ma’ruf Amin bersedia untuk berjalan seiringan dengan langgam politik Jokowi dan realisasi ide-ide politik kebangsaan.

“Ma’ruf Amin harus ikut mendorong realisasi cita-cita politik Jokowi dalam pemenuhan dan pemajuan hak seluruh warga negara, terutama kelompok minoritas keagamaan dan kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM,” katanya menegaskan.

Baca juga artikel terkaitPilpres 2019atau tulisan menarik lainnyaLalu Rahadian
(tirto.id - lrh/tii)

Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih