tirto.id - Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) , angka kelahiran meningkat rata-rata 1,49 persen per tahun. Sampai dengan akhir 2015, kelahiran di Indonesia menyentuh angka 4.880.951 bayi. Tingginya angka kelahiran bayi bisa jadi berkah, tetapi juga beban. Berkah karena kita akan memiliki angkatan kerja baru, tetapi juga bisa menjadi beban jika orang tua mereka tidak mampu membiayai secara layak anak-anak mereka.
Kabar baiknya adalah berdasarkan data dari BPS, populasi kelas menengah ke atas dengan pendapatan lebih dari lima juta rupiah per bulan di perkotaan mencapai 59 persen dari total penduduk di Indonesia. Artinya, jika kelompok kelas menengah ini menikah, secara rasional diperkirakan mereka mampu membiayai anak mereka sampai dewasa. Lantas muncul pertanyaan berikutnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua sampai anak mereka bisa mandiri dan tidak dibiayai lagi?
Tim riset tirto.id melakukan proyeksi pembiayaan anak dari model yang diadopsi dari berita di Wall Street Journal. Dengan asumsi bahwa pada usia 21 tahun, seorang anak sudah lulus kuliah dan bekerja, dapat menghidupi dirinya sendiri, kami melakukan penghitungan tentang pembiayaan anak. Tentu kami perlu menjelaskan bahwa perhitungan ini didasarkan kepada kelas menengah di Jakarta dengan pendapatan lebih dari lima juta rupiah sebulan. Angka yang ada juga berdasarkan rata-rata pengeluaraan bulanan keluarga kelas menengah di Jakarta saat ini.
Kami perlu menekankan kembali harga acuan merupakan harga rata-rata setiap indikator yang mengacu pada harga umum untuk kalangan menengah, tahun dasar 2015 dan depresiasi barang selama lima tahun. Dari situ kami menyusun beberapa kebutuhan dasar yang pasti akan dipenuhi oleh keluarga muda seperti tempat tinggal, makanan, transportasi, pakaian, pendidikan, kesehatan dan lainnya (rekreasi, investasi, tabungan).
Dari variabel itu kami menemukan bahwa untuk memiliki anak di Jakarta bagi kelas menengah bukanlah sesuatu yang murah. Setidaknya jika anda memiliki satu anak pada 2009 maka estimasi yang perlu dikeluarkan adalah Rp25.588.000 selama setahun, atau setara Rp2,13 juta per bulan. Angka itu diasumsikan bahwa anda tidak mengeluarkan uang untuk susu formula atau pendamping bayi. Sementara untuk kelahiran 2016 angka yang harus anda keluarkan selama setahun sebesar Rp31.596.000 dengan asumsi yang sama.
Lalu jika anda memiliki anak pada 2016, berapakah biaya yang harus dikeluarkan hingga anak itu bisa mandiri pada usia 21 tahun? Tim riset tirto.id memberikan estimasi biaya sebesar Rp2.945.102,750. Angka itu didapat dari asumsi makanan merupakan makanan kebutuhan pokok tiga kali sehari, lantas biaya pendidikan yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan utama, kebutuhan tempat tinggal, transportasi, dan biaya kesehatan. Penyesuaian harga menggunakan rumus present/future value dengan interest rate: 2010-2015 menggunakan inflasi sementara 2015-2020 menggunakan inflasi forecast 2020: 3,81% (rata-rata 2015-2020).
Besar? Tunggu dulu. Angka itu tentu tidak bulat. Ia mesti dibagi lagi sebanyak 21 tahun dan dibagi lagi menjadi 12 bulan. Pembiayaan anak bisa jadi lebih murah lagi apabila pasangan anda ikut bekerja. Dengan asumsi pendapatan ganda, maka besaran pengeluaran per bulan dapat ditekan. Pembiayaan itu juga masih bisa dikurangi jika anda memiliki asuransi kesehatan seperti BPJS dan bersekolah negeri dengan pembiayaan minimum. Maka memiliki anak mungkin tidak akan semahal itu.
Secara umum makanan adalah kebutuhan utama bagi sebuah keluarga dengan proporsi pengeluaran 31,3 persen, lalu transportasi 20,9 persen, kemudian pendidikan 16,4 persen, kesehatan 9,2 persen, pakaian 6,4 persen dan kebutuhan lainnya 14,2 persen. Itu adalah pengeluaran bulanan yang diasumsikan untuk satu anak, jika anda memiliki lebih dari satu anak maka kebutuhan yang anda keluarkan akan bertambah. Tapi apakah itu membuat kelas menengah di Jakarta takut memiliki anak?
Andrian Donny Bustaman adalah sales manager di perusahaan multi nasional di Jakarta. Dengan pendapatan lebih dari Rp20 juta sebulan, ia memiliki satu anak. Pengeluaran yang ia sisihkan untuk kebutuhan anaknya setiap bulan sebesar 30 persen dari gaji. Ini ia lakukan sejak memiliki anak enam tahun lalu. Donny menyebut apa yang ia lakukan tidak berat. Pengeluaran ini dianggapnya sebagai investasi, meski ia tidak mengharap dibalas oleh sang anak. Saat ini untuk keperluan anaknya ia mengeluarkan 7,8 juta rupiah perbulan. Donny percaya dengan memberikan persiapan yang baik anaknya bisa lebih terjamin hidupnya.
Sedikit berbeda dengan Donny, Zulika Citraning pekerja kelas menengah di Jakarta, mengatakan bahwa pengeluaran anak disesuaikan dengan kebutuhan yang ada saat ini. Sebulan Lika mengeluarkan 1,5 sampai 2 juta rupiah. Itu untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan popok. Lika tidak mengeluarkan tambahan untuk pendamping bayi, sehingga pengeluaran bisa ditekan. Ia juga mempersiapkan kebutuhan anak lainnya seperti pendidikan pada waktunya. Menariknya baik Lika maupun Donny tidak berniat memaksakan anaknya untuk kuliah. Bagi mereka, yang terpenting adalah kesejahteraan anak.
Donny memiliki kisah menarik yang membuatnya berpikir tentang konsep membesarkan anak. Sebagai sales manager ia memiliki anak buah yang pendapatannya jauh dari dirinya. Dengan pendapatan sebesar UMR, sekitar Rp3,5 juta, anak buahnya itu nekat menikah dan memiliki anak. “Ini gila,” katanya. Pendapatan sebesar itu bagaimana membesarkan anak? Pertanyaan ini sebenarnya yang menghantui banyak pasangan muda, tentang bagaimana cara membiayai anak dengan angka kebutuhan hidup yang demikian tinggi.
Pemerintah pada beberapa tahun terakhir telah memberikan banyak jaminan sosial. Kita bisa berdebat tentang efektivitas program tersebut, tapi perlu diakui ia banyak membantu. Misalnya jaminan sosial kesehatan dasar dan bantuan operasional sekolah dalam bidang pendidikan. Biaya kesehatan yang tinggi bisa ditekan, biaya sekolah yang mahal bisa dikurangi,. Orang tua saat ini bisa jadi hanya perlu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan tempat tinggal. Sementara pakaian, pada banyak kasus, ia mendapatkan lungsuran dan hadiah dari teman dan kerabat.
Tapi dengan pengeluaran mencapai Rp3 miliar untuk investasi selama 21 tahun dalam bentuk anak, beberapa dari kita mungkin berpikir ulang dan memilih investasi lain seperti reksa dana. Saya salah satunya.