tirto.id - Dalam Pidato Kenegaraan menjelang HUT RI ke-72, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membanggakan penurunan tingkat pengangguran sebagai salah satu capaian dalam periode pemerintahannya. Pengangguran mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar 5,81 persen pada Februari 2015 menjadi 5,33 persen pada Februari 2017.
Meskipun tingkat pengangguran memang terlihat menurun, tapi proporsi pengangguran dari penduduk berpendidikan tinggi semakin meningkat. Hal ini menjadi sinyal bahwa Indonesia hanya berhasil menghasilkan buruh dibandingkan inovator sebagai pencipta lapangan kerja.
Baca juga: Indonesia di Bawah Ancaman Pengangguran
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 10 tahun terakhir, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia memperlihatkan tren yang menurun. Tercatat tingkat pengangguran, menurun dari 9,75 persen pada Februari 2007 menjadi 5,92 persen di Februari 2013.
Namun, pada Agustus 2013, tingkat pengangguran meningkat menjadi 6,25 persen atau tambah sekitar 150 ribu orang dari periode sebelumnya. Hal ini karena perlambatan perekonomian yang menyebabkan sektor swasta mengurangi beban karyawannya.
Pergerakan tingkat pengangguran yang fluktuatif ini berlanjut hingga Agustus 2015. Sejak Agustus 2015, tingkat pengangguran tercatat sebesar 6,18 persen, hingga Februari 2017 terlihat mengalami penurunan. Pada Februari 2017, TPT Indonesia tercatat sebesar 5,33 persen. Salah satu yang menjadi penopang penurunan tingkat pengangguran ini adanya kenaikan pekerja sektor informal sebesar 0,07 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tren menurunnya tingkat pengangguran selama 10 tahun terakhir mengindikasikan membaiknya perekonomian di Indonesia. Penurunan tingkat pengangguran pada dasarnya merupakan dampak dari meningkatnya penciptaan lapangan kerja. Peningkatan jumlah lapangan kerja ini ditopang oleh kondisi perekonomian yang tumbuh positif sehingga baik sektor swasta maupun publik berani untuk meningkatkan kinerja industrinya.
Namun, peningkatan lapangan kerja di Indonesia ternyata masih banyak diciptakan untuk buruh tidak terdidik dan terampil dibandingkan tenaga terdidik dan terampil. Hal ini tercermin dari tingkat pengangguran universitas, yang merupakan tenaga terdidik.
Baca juga:Pendidikan Tinggi Tak Bisa Menjamin Karier Anda
Pada Februari 2012, proporsi pengangguran yang memiliki tingkat pendidikan terakhir universitas tercatat sebesar 7,1 persen terhadap total pengangguran Indonesia. Porsi ini meningkat menjadi 8,7 persen pada Februari 2017. Selain itu, tingkat pengangguran dari lulusan diploma/akademi juga menunjukkan proporsi yang meningkat. Pada Februari 2012, ada 3,3 persen pengangguran disumbang dari pendidikan diploma/akademi dan meningkat menjadi 3,6 persen pada Februari 2017.
Pada tingkat sekolah menengah atas, tingkat pengangguran yang terampil pun mengalami peningkatan dibandingkan yang tidak terampil. Pada Februari 2012, proporsi pengangguran terampil yang merupakan lulusan SLTA Kejuruan sebesar 13,1 persen dan meningkat mencapai 19,7 persen. Sedangkan, proporsi pengangguran dari lulusan SLTA Umum yang mencerminkan pekerja tidak terampil memperlihatkan tren yang menurun dari 26,3 persen pada Februari 2012 menjadi 22,2 persen pada Februari 2017.
Baca juga: Salah Kaprah Lulusan SMK
Bila melihat pada pengangguran yang memiliki pendidikan terakhir di tingkat sekolah menengah pertama, semakin tergambar bahwa lapangan kerja di Indonesia memang lebih banyak pada tenaga buruh yang tidak terdidik dan tidak terampil. Pada Februari 2012, proporsi pengangguran yang berpendidikan SLTP sebesar 22,4 persen dan menurun menjadi 18,3 persen pada Februari 2017.
Hal ini semakin menguatkan dunia usaha di Indonesia lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja berupah murah dibandingkan yang telah memiliki kemampuan yang berupah tinggi. Pendidikan tinggi, baik diploma maupun sarjana, pada dasarnya mengarahkan untuk menghasilkan lulusan yang menguasai dasar bidang pekerjaan serta memiliki kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan yang kompleks. Sehingga biaya yang dibayarkan oleh dunia usaha akan lebih tinggi dibandingkan angkatan kerja yang pendidikannya lebih rendah.
Permasalahannya, popularitas mereka untuk diterima bekerja kalah dibandingkan pekerja tidak terdidik dan terampil. Permasalahan pengangguran terdidik dan terampil ini memang kompleks. Dari sisi industri, permintaan atas pekerja tidak terdidik dan terampil lebih karena upaya mereka untuk menekan biaya/beban perusahaan. Proses efisiensi perusahaan ini juga tak lepas dari kondisi perekonomian yang cenderung tidak memberikan kepastian.
Selain itu, banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur juga memperlihatkan mutu pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Fenomena yang berkembang saat ini, akses pendidikan, seperti pembukaan tempat kuliah baru memang meningkat tetapi lulusannya hanya sebatas dibekali teori tanpa kemampuan yang sesuai. Hal ini lah yang menjadi pemicu semakin tingginya pengangguran terdidik dan terampil di Indonesia.