tirto.id - Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli melaporkan dugaan tindak pidana korupsi impor pangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (23/10/2018). Ia menyebut, dugaan rasuah itu bersumber pada jumlah impor yang dilebih-lebihkan.
“Impor pangan ini sangat merugikan bangsa kita, terutama petani, konsumen, dan ada dugaan tindak pidana korupsi,” kata Rizal di Gedung Merah Putih KPK, Selasa lalu (23/10/2018).
Dalam laporannya itu, ia juga menyerahkan bukti-bukti berupa laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 hingga Semester I Tahun 2017.
Rizal berharap KPK mendalami laporannya dan mengusut tuntas kasus ini. Apalagi, kata Rizal, komisi antirasuah sudah berpengalaman dalam menangani kasus impor pangan, salah satunya ia merujuk kasus yang menjerat mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq atau LHI.
Rizal bahkan mengklaim, kasus yang dilaporkannya ini puluhan kali lipat lebih besar dari kasus LHI tersebut. Meski demikian, ia enggan menyebut pihak-pihak mana yang dilaporkan. Alasannya, hal itu menjadi tugas KPK untuk menelusuri lebih lanjut.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Yuyuk Andriati Iskak menyatakan pihaknya akan mempelajari lebih lanjut terkait laporan itu. Selain itu, KPK juga akan melihat kembali apakah kasus yang diadukan Rizal itu termasuk dalam ranah KPK atau bukan.
Hal itu dilakukan sebelum KPK memutuskan apakah akan menindaklanjuti laporan Rizal itu atau tidak. “Nanti tim dumas [pengaduan masyarakat] akan melihat apakah memang kasus yang diadukan [Rizal] termasuk ranah KPK dan bisa ditindaklanjuti,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (24/10/2018).
Rawan Praktik Korupsi
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Azam Azman Sasmita mengapresiasi laporan Rizal Ramli tersebut. Menurutnya selama ini memang terdapat pihak-pihak yang mencari keuntungan lebih dari praktik impor pangan di Indonesia.
Salah satu indikasinya adalah merembesnya pasokan gula rafinasi di pasaran. Padahal seharusnya gula rafinasi hanya dijual ke industri bukan ke pasaran. Akan tetapi, karena ada pihak yang memanfaatkan celah impor, maka stok gula rafinasi berlebih kemudian dijual ke pasaran. Akibatnya, gula konsumsi yang dihasilkan petani tidak laku karena harganya lebih mahal.
Karena itu, Azam mendorong KPK agar memeriksa seluruh mata rantai impor pangan yang berjalan selama ini. “Harus diperiksa semua. Kami tidak menuduh birokrasi, tapi rantai dari impor itu harus diperiksa semua,” kata Azam kepada reporter Tirto.
Kasus dugaan korupsi terkait impor pangan ini memang bukan barang baru. Dalam lima tahun terakhir saja, setidaknya KPK telah memproses tiga kasus korupsi terkait impor yang cukup menyita perhatian publik. Salah satunya kasus yang menyeret Irman Gusman pada 2016.
Pada 20 Februari 2017, mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah RI itu akhirnya divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima Rp100 juta dari pemilik CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan Memi. Uang haram ìni diberikan guna mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog ke CV Semesta Berjaya.
Contoh lainnya adalah kasus mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar yang menerima suap dari pengusaha daging impor pada awal 2017.
Dalam kasus ini, Patrialis terbukti menerima uang dari Basuki Hariman selaku pemilik PT Impexindo Pratama dan dari General Manager PT Impexindo Pratama Ng Fenny melalui seorang perantara bernama Kamaludin untuk mempengaruhi putusan Perkara Nomor 129/ PUU-XIII/ 2015 terkait uji materi atas UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Atas perbuatannya itu, Patrialis telah dijatuhi vonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, pada 4 September 2017. Selain itu, ia juga dikenakan denda Rp300 juta dan harus mengembalikan uang kepada negara senilai Rp4,043 juta dan 10 ribu dolar AS.
Selain dua kasus ini, pada 2013 KPK juga menjerat presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Dalam kasus ini, Pengadilan Tipikor Jakarta akhirnya memvonis politikus PKS itu 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dalam perkara korupsi pengurusan penambahan kuota impor daging sapi dan pencucian uang.
Tak terima dengan putusan itu, Luthfi mengajukan upaya hukum hingga tingkat kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun demikian, Hakim Agung Artidjo Alkostar malah memperberat hukumannya menjadi 18 tahun penjara.
Akar Masalahnya
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdillah menilai praktik impor pangan memang rawan tindak pidana korupsi. Menurut dia, penambahan kuota impor selama ini telah menjadi pola umum dalam korupsi impor pangan.
“Misalnya impor garam atau gula, misalnya untuk industri tapi disalahgunakan barangnya, dirembesin ke pasar karena disparitas harga yang tinggi,” kata dia kepada reporter Tirto.
Said menengarai bahwa praktik korupsi dalam impor pangan disebabkan tidak adanya transparansi. Dia mencontohkan, saat ini masyarakat tidak pernah tahu apa dasar penentuan kuota impor, lalu data yang digunakan, dan dasar pemilihan perusahaan-perusahaan importir.
“Itu semua walaupun ada upaya untuk membuat lebih terbuka, tapi sesungguhnya di balik itu, kita enggak pernah tahu semua prosesnya. Itulah yang membuat peluang korupsinya besar,” kata Said.
Hal itu, kata dia, diperparah dengan pengawasan yang buruk dari aparat di lapangan yang makin melanggengkan aksi nakal importir. Untuk itu, Said menyarankan, mesti ada perbaikan soal informasi ke publik, khususnya terkait keputusan-keputusan yang diambil terkait perizinan impor.
Selain itu, kata Said, penentuan kuota impor harus melibatkan lebih banyak pihak, termasuk petani. “Untuk memberikan lebih banyak ruang bagi lebih banyak data untuk dielaborasi sehingga kebutuhan-kebutuhannya lebih realistis,” kata Said.