Ketergantungan Baru Petani dalam Program Cetak Sawah TNI

Penulis: Nurhady Sirimorok tirto.id - 24 Jul 2017 04:00 WIB
Diperbarui 02 Mar 2018 14:05 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Program percetakan sawah baru untuk memacu produksi padi bisa memukul balik pembangunan pertanian pangan, bahkan pertanian secara umum, di Indonesia.

tirto.id - Wacana "peningkatan produksi" sudah mendominasi dunia pertanian Indonesia sejak masa Orde Baru. Kala itu pemerintahan Orde Baru memanfaatkan modernisasi pertanian ala Revolusi Hijau: input kimia, benih rekayasa, mekanisasi, dan kredit..

Setelah swasembada beras pada pertengahan 1980-an, Indonesia pun menyaksikan rentetan persoalan muncul dari model pembangunan pertanian ini, yang terlampau mengandalkan sains pertanian dan padat modal.

Produksi padi kembali menyusut tak lama setelahnya. Kita pun kehilangan banyak ragam benih lokal dan pengetahuan tentangnya. Input kimiawi diterapkan kian intensif demi mempertahankan laju produksi. Diferensiasi sosial masyarakat petani melaju lewat "penggusuran orang-orang dekat": seiring waktu semakin banyak petani harus memulai musim tanam dengan mengutang. Dengan mudah mereka bangkrut setelah menjual tanah, lalu menyaksikan harga sawah melambung oleh mekanisme pasar, menjauh dari jangkauan mereka untuk mendapatkannya kembali.

Ketergantungan pada input dari luar sistem budidaya petani memaksa mereka menjadi "pengusaha" di sektor pertanian, bersaing dalam sistem pasar dengan modal tipis. Banyak dari mereka kemudian tergencet lalu terlempar keluar dari sawah.

Pada Sensus Pertanian paling mutakhir tahun 2013, kebangkrutan ini tampak dengan terang benderang. Sistem pertanian yang di sektor hulu sangat bergantung pada input luar membuat keluarga petani menyusut dalam laju mengkhawatirkan. Tak kalah pentingnya, rerata lahan garapan sawah tetap sangat kecil: 0,39 ha/ keluarga.

Ringkasnya, tujuan untuk "memacu produksi" tidak hanya meruntuhkan produksi, tetapi juga pondasi untuk mencapainya secara berkelanjutan. Pelan-pelan kita kehilangan keluarga tani, tanah subur yang terjangkau, dan pelbagai pengetahuan cocok tanam. Seluruhnya kemudian disuplai via pasar, dengan derajat ketergantungan yang tinggi.

Pertanian Indonesia belum pulih dari kondisi ini ketika gelombang baru "peningkatan produksi" kembali bergerak. Gejala ini antara lain tampak dalam program percetakan sawah baru, yang diasumsikan dapat menumbuhkan produksi pangan sekaligus mengatasi masalah kemiskinan petani (tanaman pangan). Sekali lagi, keduanya mungkin sulit tercapai secara berkesinambungan.

Wacana dominan soal "peningkatan produksi" biasanya berujung pada industrialisasi proses produksi pertanian, mengikuti azas "efisiensi", dan prinsip "kecepatan" yang dibutuhkan dari sistem tersebut. Sinyal tentang perihal ini disampaikan pejabat Kementerian Pertanian dalam sejumlah kesempatan. Efisiensi, dalam kasus ini, berarti minimalisasi ongkos (percetakan sawah) untuk mencapai hasil tertentu (target luasan sawah). Cara berpikir inilah yang mendorong Kementerian Pertanian bekerja sama dengan TNI dalam menjalankan percetakan sawah.

src="https://mmc.tirto.id/image/2017/07/24/DSC_4069_ratio-16x9_ratio-16x9.jpg" width="860" alt="HL PROYEK SAWAH TNI" /

Rapat Koordinasi Gabungan 'percepatan luas tambah tanam padi dan serap gabah petani' periode April - September 2017 yang dihadiri oleh anggota TNI di Auditorium Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Rabu (3/5). Tirto.id/Arimacs Wilander
Dari perspektif petani setidaknya ada dua soal utama di sini—sebagian lain yang sama pentingnya tidak dibahas di sini karena keterbatasan ruang.

Pertama, soal tujuan menyejahterakan petani. Di negara dengan banyak angkatan kerja perdesaan yang tak setiap hari bisa menemukan peluang kerja purnawaktu (underemployed), dan tingkat kemiskinan perdesaan jauh melampaui kemiskinan urban, negara malah menggunakan anggota TNI yang sudah bergaji? Mengapa tidak menggunakan peluang emas untuk mempekerjakan angkatan kerja perdesaan? Padahal sudah terbukti dalam banyak kajian bahwa transfer tunai dapat menggerakkan ekonomi sebuah wilayah.

Sebuah kajian menyebutkan Indonesia tidak terdampak secara berarti oleh gelombang krisis finansial global 2008 karena transfer tunai besar-besaran ke warga miskin, antara lain lewat program Bantuan Langsung Tunai, program-program padat karya, dan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden pada 2009.

Di tempat dan masa lain, cara ini pun sudah terbukti berhasil. Joseph Hanlon (2005) menunjukkannya dalam kasus perdesaan di Mozambik dasawarsa 1990-an dan 2000-an, setelah dilanda perang dan banjir besar. Pada awal abad 20, AS berhasil menghentikan Depresi Besar saat pemerintah menghamburkan uang ke sebuah ekonomi yang tengah lesu untuk merangsang kembali perekonomian.

Kedua, tentang keterlibatan petani. Prinsip efisiensi senantiasa berujung pada ketergantungan pada teknologi yang dipandang sebagai sarana efisiensi paling manjur. Dokumen "Pedoman Teknis Penanaman Padi Pasca Cetak Sawah Baru TA. 2017" menyebut penggunaan tenaga anggota TNI bertujuan untuk "mempercepat" percetakan sawah baru. Di sejumlah berita yang beredar, kita pun bisa membaca bahwa para anggota TNI menggunakan traktor untuk mempercepat laju percetakan sawah.

Ketika kecepatan menjadi tujuan, hal-hal di luar efisiensi dianggap sebagai eksternalitas (beban atau faktor penghambat). Salah satu penghambat dalam kasus ini ialah status hukum tanah yang menjadi objek percetakan sawah. Dengan kata lain, aturan legal pun bisa menjadi penghambat bagi efisiensi. Dalam kenyataan, benturan ini memang memunculkan sejumlah masalah dengan pemilik tanah.

Bila legalitas tanah saja dianggap sebagai "penghambat", angkatan kerja desa apalagi. Sangat mungkin mereka tidak dilirik dalam proses percetakan sawah karena hanya akan menghadirkan hambatan tambahan bagi efisiensi atau kecepatan percetakan sawah yang dibutuhkan untuk mencapai target dengan biaya murah. Dalam rilis tanggal 16 Juli lalu, Kementerian Pertanian menyebutkan dengan melibatkan TNI, cetak sawah menjadi “optimal” (dalam hal pencapaian target luasan lahan) dan “murah” (dari ongkos “cetak sawah ideal”).

Dalam kerangka berpikir semacam ini, petani kembali di titik akhir dari sesuatu yang dirancang jauh dari jangkauan mereka untuk bisa urun rembug mengambil keputusan. Sulit menghindari kesan program ini ialah program Kementerian Pertanian, dengan petani sebagai salah satu pihak pelaksana, untuk mewujudkan target Kementerian. Hal ini bertabrakan langsung dengan salah satu azas pembuatan UU Desa, yaitu azas subsidiaritas, yang juga tengah dijalankan oleh pemerintahan yang sama.

Lantas apakah para penggarap sawah benar-benar menerima manfaatnya?

Di sini kita kembali pada struktur agraria yang saya singgung di atas: rata-rata keluarga petani tanaman pangan hanya menguasai 0.39 hektare. "Menguasai" belum tentu memiliki, dengan derajat keamanan penguasaan lahan yang cukup aman. Artinya, tidak semua penggarap itu punya tanah. Lalu sawah yang dicetak itu berasal dari tanah milik siapa?

Kita bisa menduga tanah yang dibuka itu belum tentu bisa dikuasai dan dimanfaatkan secara cukup aman oleh sebagian besar petani tanaman pangan yang benar-benar mengangkat cangkul: petani gurem, petani penggarap, dan buruh tani.

Bila jaminan penguasaan lahan bagi mereka tak cukup meyakinkan dan menjanjikan, insentif bagi mereka untuk merawat tanah tetap subur dan produktif menjadi lebih kecil—sawah-sawah itu bisa kembali menganggur atau dikuasai dalam parsel besar oleh pengusaha pertanian yang punya macam-macam modal untuk itu.

Memang dalam "Pedoman Teknis Penanaman Padi Pasca Cetak Sawah TA. 2017" disebutkan bahwa kelompok tani menjadi semacam "penjamin" bagi negara untuk memastikan sawah yang tercetak akan tergarap baik dan penyaluran pelbagai subsidi pendukung bisa tepat sasaran.

Tetapi, sejumlah kajian, di mana saya terlibat, menunjukkan bahwa kelompok tani yang disponsori negara seringkali hanya aktif ketika bantuan datang, non-aktif di masa jeda, lalu dikuasai lingkaran tertentu, dan meninggalkan "monumen-monumen" bekas program yang tak terpakai bahkan mangkrak—termasuk sawah cetakan baru yang kemudian tidak menjadi sawah.

Paling sedikit di sini kita melihat munculnya sel ketergantungan baru, melengkapi yang sudah ada selama ini.

Menihilkan Subjek Mandiri Petani

Dalam kondisi lebih baik, kaum tani (peasantry) di pelbagai belahan dunia, menurut J.D. van der Ploeg (2014), telah membuktikan bila mereka diberi ruang dan sarana untuk mengembangkan gaya bertani sendiri, produktivitas lahan dan tenaga kerja mereka menjadi lebih tinggi, bila dibandingkan dengan model produksi wirausaha (entrepreneur) dan kapitalis pertanian yang bergantung penuh pada input luar yang diperoleh dari pasar alias bergantung pasar.

Model pertanian yang dikembangkan petani nyaris selalu berupa campuran (tumpang sari, rotasi, maupun model terpadu). Mereka biasanya tidak terlalu bergantung pada input yang diperoleh dari pasar. Mereka juga akan menjaga kesuburan tanah, keterampilan dan pengetahuan lokal yang sesuai konteks setempat, serta jaringan sosial—seluruhnya untuk menjamin keberlangsungan sistem cocok tanam dan produktivitas mereka.

Dengan demikian, model percetakan sawah yang menekankan efisiensi untuk mencapai target, keketatan sistem pengadaan sawah, dan metode tanam setelahnya bagi "penerima manfaat", dengan tujuan memacu produksi, tidak sesuai dengan gaya bertani mereka.

Beberapa indikator yang ditunjukkan oleh penelitian INDEF (yang segera dibantah Kementerian Pertanian), sudah memberi sinyal awal bahwa kesejahteraan petani belum terangkat bersama terkereknya produksi beras nasional. Persentase kenaikan upah buruh pertanian (yang sudah kecil) masih lebih kecil dibandingkan laju inflasi, misalnya.

Bahkan, lanjut van der Ploeg, banyak belahan dunia telah menyaksikan kebangkrutan sektor agrikultur (termasuk pertanian, perkebunan, dan peternakan) ketika sektor tersebut didominasi model proses produksi wirausaha dan kapitalis, yang menjadikan efisiensi dan kecepatan sebagai suluh.

Salah satunya, pasar bagi pelbagai faktor produksi dalam model pertanian semacam itu bisa menjadi sangat labil pada momen tertentu, dan semua yang terlampau bergantung padanya dengan cepat mengalami kebangkrutan. Atau, dalam kondisi lebih baik, akan memaksa negara menutupinya—yang berarti pemborosan lagi.

Banyak negara di Eropa, Afrika, Amerika, juga Asia sudah menyaksikannya, pada banyak masa. Indonesia pun begitu.

Baca juga artikel terkait Swasembada Pangan atau tulisan menarik lainnya Nurhady Sirimorok
(tirto.id - nsm/nsm)

Penulis: Nurhady Sirimorok
Editor: Fahri Salam