Kerusuhan Delhi: Memahami Biang Keladi Konflik Hindu-Muslim India

Penulis: Restu Diantina Putritirto.id - 28 Feb 2020 00:00 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Setidaknya 30 orang tewas dan ratusan luka akibat kerusuhan di New Delhi, India sejak 23 Februari 2020.

tirto.id - Muhammad Zubair tengah berjalan pulang dari masjid tak jauh dari rumahnya di New Delhi saat ia berpapasan dengan sekelompok massa. Untuk menghindarinya, Zubair memilih berbalik arah. Sayangnya, keputusan itu merupakan sebuah kesalahan.

Detik berikutnya ia sudah merunduk di jalanan. Tangannya melingkar di atas kepala untuk melindungi tengkoraknya dari pukulan bertubi-tubi yang dilakukan sekitar 20 hingga 25 pemuda menggunakan tongkat kayu dan besi.

Dari batok kepalanya sudah mengucur darah segar. Ia tetap bergeming. Sementara ratusan massa lainnya hanya menonton di belakang para penyerangnya.

Peristiwa penyerangan itu terjadi tak jauh dari New Delhi, India pada Senin siang (24/2/2020) waktu setempat. Momen dramatis itu kemudian diabadikan oleh fotografer Reuters yang kemudian viral di media sosial.

“Kupikir aku akan mati,” ujar Zubair kepada Reuters yang dilansir The New York Times saat ditemui di sebuah rumah sakit tempatnya dirawat. Kepalanya masih penuh dengan perban.

“Mereka melihatku sendirian. Mereka lihat peciku, janggut, dan shalwar kameez (pakaian tradisional India). Mereka melihatku sebagai seorang Muslim dan kemudian mereka mulai menyerang, meneriakkan slogan-slogan. Padahal aku tidak menyakiti mereka. Tidak mengatakan apapun juga,” ungkap pria 37 tahun itu.

“Benar-benar sebuah keajaiban aku bisa selamat.”

Penyerangan terhadap Zubair merupakan rangkaian peristiwa bentrokan yang terjadi sejak Ahad (23/2/2020) di tiga area yang ditempati mayoritas Muslim sekitar 18 kilometer dari New Delhi.

Bentrokan ini dipicu serangan terhadap kelompok Muslim penolak Undang-Undang Citizienship Amendement Bill (CAB) oleh kelompok Hindu pendukung UU tersebut di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Bentrokan itu terjadi sepanjang tiga hari berturut-turut dan hingga kini telah menewaskan lebih dari 30 orang dari kedua belah pihak maupun polisi. Bentrokan meluas, massa mulai membakar masjid-masjid. Dalam sebuah video viral yang diunggah pegiat HAM India @arjunsethi18 di media sosial, seorang pemuda bahkan sempat mencabut simbol bulan bintang di sebuah masjid. Bersamanya, seorang laki-laki mengibarkan Bendera Saffron, lambang kelompok sayap kanan Hindu India.

Entah bagaimana muasalnya, kerusahan ini bukan lagi tentang kewarganegaraan melainkan menjadi isu sektarian. Banyak orang diserang lantaran agamanya. Tak heran jika kerusuhan kemudian menjadi kekerasan berbasis agama terburuk yang terjadi selama beberapa dekade di negeri itu.

UU Kontroversial Anti-Muslim Menjadi Biang Keladi

Semua berawal sejak dua bulan lalu ketika Perdana Menteri Narendra Modi meloloskan Undang-Undang (UU) Anti-Muslim atau UU Amandemen Warga Negara atau "Citizenship Amendment Bill" (CAB). Tak ayal, UU ini menjadi kontroversi di publik, khususnya warga India.

Bahkan, sejumlah aktris Bollywood ramai-ramai menyuarakan protes terhadap UU CAB, yang dianggap anti-Muslim. UU CAB salah satunya berisi soal kemungkinan para imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan, terkecuali mereka yang beragama muslim, demikian sebagaimana diberitakan BBC.

Di bawah UU ini, umat Muslim India juga akan wajib untuk membuktikan bahwa mereka memang adalah warga negara India. Sehingga ada kemungkinan warga Muslim India justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan.

Al Jazeera menulis, partai oposisi Kongres Nasional India berpendapat hukum ini sangat diskriminatif untuk umat muslim, terlebih diberlakukan di negara sekuler dengan penduduk 1,3 miliar yang mana 15 pesen di antaranya adalah masyarakat Islam.

Yang dikritik dari UU CAB adalah langkah itu bagian agenda supremasi Hindu di bawah pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi sejak berkuasa hampir 6 tahun lalu.

Sanjay Jha, juru bicara partai oposisi utama Partai Kongres, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa hukum itu adalah "bagian dari strategi politik Nasionalis Hindu Bharatiya Janata (BJP) yang memecah belah lebih dalam untuk mempolarisasi India".

UU CAB pertama kali diperkenalkan di Parlemen pada Juli 2016, yang merupakan amandemen UU Kewarganegaraan Citizenship Act 1955 yang menjadikan agama sebagai dasar kewarganegaraan.

Sementara, UU sebelumnya tidak menjadikan agama sebagai kriteria kelayakan untuk menjadi warga negara. Kontroversi utama UU CAB adalah peraturan ini dapat dipakai untuk menghalangi Muslim dalam mencari kewaranegaraan, satu hal yang mirip dengan peraturan Donald Trump soal pelarangan umat Islam dalam mencari suaka di AS.

Dilansir BBC, UU CAB telah membuat ribuan orang melakukan aksi protes di jalan-jalan. Demonstrasi di ibukota Delhi berlangsung pada hari Minggu (15/12/2019). Setidaknya 50 orang, baik polisi maupun pengunjuk rasa luka-luka dan dibawa ke rumah sakit.

Kembali ke kerusuhan beberapa hari terakhir, Juru Bicara BJP Tajinder Pal Singh Bagga menampik partainya berada di balik semua penyerangan itu. Hal ini menyusul tuduhan pemimpin BJP Kapil Mishra terlibat dalam kerusuhan tersebut lantaran mengancam akan mengusir paksa kelompok penolak UU CAB itu usai Presiden AS Donald Trump menyelesaikan lawatannya.

“Partai kami tidak mendukung kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk penyerangan terhadap Zubair,” katanya. Ia justru menuding partai oposisi yang merancang kerusuhan ini selama kunjungan Donald Trump untuk mencoreng citra India.

“Saya yakin semua akan baik-baik saja,” kata Bagga setelah menjamin militer akan turun tangan mengendalikan situasi, seperti dilansir The New York Times.

Sementara itu PM Narendra Modi baru buka suara pada Rabu setelah 24 orang dilaporkan tewas dan ratusan luka-luka.

“Saya meminta kepada saudara dan saudari saya di Delhi untuk menjaga perdamaian dan persaudaraan. Memulihkan situasi agar menjadi tenang dan kembali normal harus diprioritaskan,” katanya lewat sebuat cuitan di Twitter.

Mengutip Guardian, Hakim S. Muralidhar, seorang hakim pengadilan tinggi Delhi mengkritik tajam polisi dan meminta pihak berwenang untuk mengusut dan melakukan investigasi terhadap politisi BJP, partai pengusung Narendra Modi lantaran menghasut kekerasan.

Namun Muralidhar lantas dimutasi ke negara bagian lain dalam sebuah perintah yang dikeluarkan larut malam. Hal ini memicu terjadinya perdebatan antara partai penguasa dan oposisi di media sosial.

Menanggapi itu, Menteri Hukum Ravi Shankar Prasad bersikeras bahwa pemindahan tersebut bagian dari "transfer rutin".

Berbahayanya Politik ala Modi

Perdana Menteri Modi adalah seorang nasionalis Hindu. Ia tak pernah menutup-nutupi fakta itu. Dan hal ini semakin diperjelas dengan sejumlah kebijakannya pada tahun lalu demi memuluskan agenda politiknya, demikian seperti dilansir CNN.

Sejak terpilih sebagai perdana menteri pada 2014, ia menyusun ulang wajah India, dari demokrasi sekuler yang mengakomodasi keberagaman menjadi bangsa Hindu yang mendominasi minoritas, terutama 200 juta Muslim di negara itu. Modi dan keroconya melakukan perundungan dan menekan pers untuk mendukung apa yang mereka sebut sebagai “India Baru”, demikian ditulis The New Yorker.

Beberapa bulan setelah terpilih, ia membagi wilayah bekas negara bagian Jammu dan Kashmir, yang merupakan daerah otonom, menjadi dua wilayah persatuan. Hal ini memungkinkan Pemerintah India pada akhirnya memiliki otoritas penuh terhadap wilayah dengan mayoritas Muslim itu.

Puncaknya, ketika ia meloloskan UU CAB pada Desember 2019 dan membuat warga turun ke jalan.

Betapapun UU ini tak populis terlebih sudah banyak penolakan dari banyak kelompok masyarakat, namun India tak mengenal pemungutan suara di mana hampir 80 persen populasinya adalah Hindu.

Kebijakan-kebijakan kontroversial Modi ini seharusnya menjadi sinyal buruk bagi pemerintahannya. Selain menghasilkan UU diskriminatif, Modi yang sejak terpilih kembali pada 2014 terus-terusan berfokus pada agenda politiknya, tak berhasil membawa perekonomian India ke arah lebih baik.

Pertumbuhan ekonomi di bawah kepemimpinannya bahkan yang terlambat dalam enam tahun terakhir. Ia juga menaikkan persentase pengangguran dari 6,9 persen menjadi 7,6 persen pada Januari tahun lalu.

Pamor BJP juga menurun. Partai pengusung Modi itu tadinya berhasil menggenggam 21 dari 29 negara bagian pada 2018. Namun saat ini, hanya tersisa 15 negara bagian.

Belum lagi, ini bukan kerusuhan pertama dalam era kepemimpinan Modi. Pada 2002 saat ia menjadi Menteri Utama negara bagian Gujarat, sekitar 2500 orang tewas, mayoritas di antaranya adalah Muslim. Pemicunya adalah pembakaran 59 umat Hindu hingga tewas di kereta yang diduga dilakukan kelompok muslim. Dan Modi tak pernah dihukum atas itu kendati puluhan orang dari kedua pihak dinyatakan bersalah.

Sejak saat itu, kelompok sayap kanan Hindu mulai bangkit seiring hilangnya kepercayaan umat muslim India pada Modi.

Baca juga artikel terkaitUu Anti Muslim Indiaatau tulisan menarik lainnyaRestu Diantina Putri
(tirto.id - rst/glr)

Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan