tirto.id - Kementerian Pertanian mengaku telah merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu terkait dengan kebijakan World Trade Organization (WTO).
Adapun Permentan tersebut telah mengalami dua kali revisi selama kurang dari sebulan, yakni menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018 dan kemudian berganti lagi jadi Permentan Nomor 33 Tahun 2018.
“[Revisi Permentan] Dalam rangka merespons regulasi dunia terkait dengan WTO,” kata Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Syamsul Ma’arif, melalui pesan singkat kepada Tirto pada Selasa (14/8/2018).
Perubahan signifikan terjadi pada revisi dari Permentan Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018. Setidaknya ada enam pasal yang diubah, yaitu Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 34, dan Pasal 44.
Dalam revisi yang diberlakukan, pemerintah menghapus kata “wajib” pada Pasal 23 di Permentan Nomor 30 Tahun 2018. Sebelum direvisi, Pasal 23 tersebut berbunyi: “Pelaku usaha wajib melakukan kemitraan dengan peternak, gabungan kelompok peternak, dan/atau koperasi melalui pemanfaatan SSDN (Susu Segar Dalam Negeri) atau promosi secara saling menguntungkan”.
Kata “wajib” pun rupanya hilang pada Pasal 24 di Permentan Nomor 30 Tahun 2018. Setelah direvisi, ayat (1) pada pasal tersebut berbunyi: “Kemitraan melalui pemanfaatan SSDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan bagi pelaku usaha yang memproduksi susu olahan”.
Syamsul mengatakan Kementerian Pertanian belum menerima protes dari para peternak ihwal revisi beleid tersebut. Meski tak menjelaskan secara rinci, namun Syamsul menyebutkan bahwa akan ada sosialisasi yang dilakukan.
“Sesuai amanah semua peraturan, untuk masyarakat mengetahuinya, di antaranya dengan melakukan sosialisasi,” ucap Syamsul.
Lebih lanjut, Syamsul tak menjawab tegas saat ditanya terkait perbedaan dari Permentan tersebut, baik sebelum dan setelah direvisi. Ia juga tak merinci langkah antisipasi terhadap potensi kekhawatiran para peternak akibat keran impor susu sapi yang menjadi terbuka.
Klarifikasi terkait penyesuaian Permentan dengan kebijakan WTO itu senada dengan dugaan Ketua Dewan Persusuan Indonesia Teguh Boediyana. Ia sempat menilai penghapusan kata “wajib” bermitra dengan peternak itu tak lepas dari tekanan Amerika Serikat melalui desakannya kepada WTO.
Indonesia sendiri memang tengah berkewajiban untuk melakukan pelonggaran restriksi perdagangan pada produk hortikultura dan hewani setelah digugat Amerika Serikat dan Selandia Baru.
“WTO memang sangat sensitif soal kuota. Untuk beberapa kata, WTO alergi pada kata ‘wajib’ dan ‘kuota’,” kata Teguh kepada Tirto.