tirto.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengkritik Polda Yogyakarta yang memanggil Citra Maudy, wartawan mahasiswa dari pers kampus Balairung, yang menulis laporan soal dugaan pemerkosaan mahasiswi Universitas Gadjah Mada bernama Agni (bukan nama sebenarnya).
Pemeriksaan Citra sebagai saksi dalam kasus Agni dinilai janggal, menurut Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli yang mendampingi Citra saat diperiksa Polda DIY, Senin (7/1/2019).
Citra adalah penulis artikel “Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan” dari Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung UGM. Berkat tulisan itu, dugaan kasus pemerkosaan Agni saat Kuliah Kerja Nyata di luar Pulau Jawa pada pertengahan 2017 jadi sorotan publik dan pemberitaan nasional.
“Kami melihatnya sebagai pemanggilan yang janggal karena Citra dipanggil sebagai saksi atas laporan suatu pidana, yang mana Citra atau Balairung itu tidak pernah sama sekali tahu peristiwanya,” kata Yogi.
Padahal, berdasarkan definisi KUHP, ujar Yogi, yang disebut saksi adalah orang yang melihat, mengetahui, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa pidananya. Sedangkan Citra menulis kasus berdasarkan wawancara dan menerbitkannya di situsweb Balairung.
Menurut Yogi, dalam pemeriksaan yang berjalan sekitar dua jam itu, Citra dicecar 30 pertanyaan oleh kepolisian Yogyakarta seputar dugaan pemerkosaan yang dialami Agni. Hanya saja, sejumlah pertanyaan penyidik justru keluar dari konteks peristiwa.
“Beberapa pertanyaan yang dilontarkan penyidik justru mengarah kepada pemberitaan kawan-kawan Balairung. Tidak menyentuh banyak aspek materi perbuatan [pidana pemerkosaan],” kata Yogi.
Karena itulah Yogi memprotes sejumlah pertanyaan dari penyidik yang tidak relevan dengan laporan dugaan pidana pemerkosaan Agni.
Menurut Yogi, jika memang yang dipersoalkan adalah berita yang ditulis Balairung, seharusnya tidak dengan pendekatan hukum pidana.
“Kalau kemudian yang dipersoalkan itu beritanya, silakan menempuh mekanisme yang berlaku di Undang-Undang Pers, melalui Dewan Pers misalnya, atau mekanisme yang berkaitan dengan proses-proses yang berkaitan dengan jurnalistik,” kata Yogi.
Menurut Yogi, laporan yang ditulis Citra dan diterbitkan Balairung sudah sesuai kaidah-kaidah jurnalistik.
Dalih Polisi Memanggil Penulis Balairung
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Kombes Hadi Utomo mengatakan pemeriksaan Citra Maudy sebagai saksi terkait laporan soal dugaan kasus perkosaan terhadap Agni.
“Kami panggil [BPPM Balairung UGM] ... [karena] ... kok bisa menemukan nomenklatur kalimat 'perkosaan'. Sebenarnya dari mana?” kata Hadi di Yogyakarta, Senin (7/1/2019).
Kepolisian juga mempertanyakan kebenaran berita yang diterbitkan oleh BPPM Balairung, menurut Hadi. Jika berita yang ditulis itu tidak benar, ujarnya, akan lebih baik bila tidak dipublikasikan.
"Itu yang akan kami ungkap,” kata Hadi.
Hadi menambahkan, jika fakta yang menurutnya tidak benar itu disebarluaskan, akan merugikan narasumber, orang yang terkait atau pun publik. Ia berkata hal ini sama dengan menyebarkan hoaks.
“Semuanya akan kami periksa. Karena itu tidak menutup kemungkinan berita bohong,” kata Hadi.
Kuasa Hukum Agni: 'Pertanyaan Polisi Cenderung Menyudutkan Korban'
Sukiratnasari, kuasa hukum Agni, berkata kliennya telah menjalani dua kali pemeriksaan, sebagai saksi. Pemeriksaan pertama pada 18 November 2018 oleh Polda Maluku dan kedua pada 18 Desember 2018 oleh Polda Yogyakarta.
Menurut Kiki, sapaan akrab Sukiratnasari, status Agni saat ini sebagai saksi korban, bukan pelapor. Sebab, Agni tidak bersedia melaporkan kasus ini meski sudah didesak polisi untuk menjadi pelapor.
Kiki mengatakan Agni enggan melapor dengan pelbagai pertimbangan, di antaranya kondisi psikis Agni yang tidak siap dan waktu kejadian yang sudah lampau, sekitar 1,5 tahun lalu atau Juli 2017.
“Karena memang sejak awal kami tahu kasusnya sudah 1,5 tahun yang lalu. Korban menuntut keadilan dari segi akademis. Karena tidak ada penetrasi, alat bukti, jadi sulit, ya. Selain itu, proses hukum butuh banyak energi, jadi dia memang fokus di kampusnya,” kata Kiki kepada reporter Tirto.
Pemeriksaan terhadap Agni dilakukan setelah Polda DIY menerima laporan pada 9 Desember 2018. Dalam laporan polisi nomor LP/764/XII/2018/SPKT itu, pelapor tercatat bernama Arif Nurcahyo, Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (PKKKL) UGM.
Padahal, kata Kiki, berdasarkan pertemuan yang dilakukan Rektorat UGM dan Agni, muncul kesepakatan kasus ini tidak akan dilaporkan ke polisi.
"Karena memang kondisi psikis korban tidak menguntungkan, beratlah kalau kami bawa ke sana [jalur hukum]," ujar Kiki.
Dalam laporan yang diajukan Arif Nurcahyo, terduga pelaku berinisial HS disangka melanggar Pasal 285 tentang perkosaan juncto Pasal 289 tentang pencabulan.
Kiki mengeluhkan pemeriksaan oleh Polda DIY terhadap Agni pada 18 Desember 2018. Sebab, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan polisi cenderung menyudutkan korban.
Beberapa pertanyaan yang diajukan ke Agni di antaranya soal kronologi kejadian.
Selain itu, menurut Kiki, ada beberapa "pertanyaan berat" seperti apakah pelaku menggunakan tangan kanan atau tangan kiri, berapa lama, suka sama suka atau kekerasan, dan hal-hal lain yang dinilai berpotensi merugikan korban.
Menurut Kiki, Agni ditanya soal pemberitaan Balairung. Polisi bertanyaa apakah benar Agni menjadi narasumber di Balairung dan siapa yang pertama kali mencetuskan terminologi "pemerkosaan".
“Polisi tanya, 'Ada hal lain yang mau ditambahkan?'
Agni bilang laporan [kasus pemerkosaan ke polisi] sebenarnya dilakukan tanpa consent dia sebagai korban, padahal sebelumnya sudah sepakat tidak lapor.
Polisi lalu bilang, 'Kamu bilang ke Balairung juga enggak izin UGM, kan?'
Lah ini kok jadi arahnya ke situ?” kata Kiki, mendeskripsikan pola pertanyaan polisi terhadap Agni.
Dari pola pemeriksaan itu, jawaban Agni yang jujur justru dimanfaatkan polisi untuk “menyerang” Agni dan laporan Balairung.
Kiki menduga polisi berkutat mengenai terminologi "pemerkosaan" yang kemungkinan akan jadi kriminalisasi bagi Agni atau pihak Balairung. Karena itu, Kiki menyebut hingga saat ini tim kuasa hukum Agni selalu berkoordinasi dengan LBH Yogyakarta sebagai kuasa hukum Balairung.
"Kami sih membaca ada kemungkinan ke situ [kriminalisasi]. Artinya, kalau misalnya ini SP-3 [surat perintah penghentian penyidikan], jadi tidak terbukti pidana, bisa jadi Agni atau Balairung dikriminalisasi oleh pihak-pihak tertentu. Itu yang kami khawatirkan," kata Kiki.
Ketika Kiki bertanya kepada Agni tentang terminologi "pemerkosaan" itu, Agni merujuk terminologi dari situsweb Komnas Perempuan, yang merangkum 15 bentuk kekerasan seksual, salah satunya "intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan." Terminologi kekerasan seksual dari Komnas Perempuan ini disertakan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang didesak untuk segera disahkan di DPR.
Sementara soal rencana Polda DIY untuk melakukan reka ulang kejadian, Kiki berkata belum tahu. Informasi terakhir yang ia terima dari Polda Yogyakarta adalah permohonan visum et repertum. Namun, ujar Kiki, Agni tidak bersedia untuk melakukannya.
“Karena peristiwanya sudah 1,5 tahun lalu, tentu saja itu tidak akan membantu. Kami memohon visum et repertum psikiatrikum karena dampak yang terasa hingga saat ini, kan, dampak psikisnya,” ujar Kiki.