Kapolri Tito ke Mahasiswa Asal Papua: Jangan Eksklusif. Apa Benar?

Reporter: Adi Briantika tirto.id - 30 Aug 2019 11:10 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Dari mana kesan eksklusif itu muncul? Apakah dari stigma yang kita buat sendiri?

tirto.id - Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta setiap pendatang berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan kearifan daerah setempat. Tujuannya untuk mengikis potensi konflik. Fokus utama Tito, pendatang itu ialah mahasiswa asal Papua.

"Adik-adik dari Papua sekolah di Yogyakarta, Surabaya, Medan dan lainnya. Kalau bisa jangan eksklusif tapi bergaul dengan masyarakat sekitar, membaur dan menghargai budaya, adat yang ada di tempat itu. Karena negara ini adalah negara yang sangat kebhinekaan," ujar Tito di gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (29/8/2019).

Eksklusif seperti apa? Tito tidak menjelaskan lebih lanjut.

Berkaitan dengan kasus di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Tito berujar, itu dilakukan perorangan, tidak mewakili masyarakat umum. Dia menegaskan, tindakan rasisme adalah kesalahan dan bisa dijerat dipidana.

"Adik-adik mahasiswa yang bersekolah di tempat tersebut kami jamin keamanannya. Tapi adik-adik sendiri tentu harus juga menghargai masyarakat lokal, budaya, dan adatnya. Sehingga bisa berbaur sebagaimana senior-senior terdahulu," ucap Tito.

Albert Mungguar, mahasiswa asal Papua menganggap persepsi "eksklusif" Tito keliru. Namun sekretaris umum II Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu menjelaskan, justru sudah ada stigma buruk dari masyarakat terhadap mahasiswa asal Papua. Persepsi itu telah dibangun bertahun-tahun yang lalu. Label bawaan itu terus-menerus terwariskan tanpa ada tindakan mengenali lebih jauh mahasiswa asal Papua.

"Kami di lingkungan begini saja, di asrama se-Jawa dan Bali, kami ingin berteman tapi mereka tidak mau berteman karena stigma yang dibangun," kata Albert saat ditemui reporter Tirto di Asrama Mahasiswa Papua di kawasan Batuampar, Condet, Jakarta Timur, Kamis (29/8/2019).

Citra negatif yang melekat itu misalnya, pemabuk dan tukang pukul. Menurut Albert, jika mengenal lebih dekat mahasiswa asal Papua, tuduhan "eksklusif" itu salah.

"Bang Ucok yang jualan galon [air minum] di depan, kenal kami. Kami sering isi air di sana," ucap Albert. Ada 28 mahasiswa di asrama, orang itu siap membantu jika masyarakat membutuhkan.

"Kalau mau kerja bakti, gotong royong," kata mahasiswa asal Yahukimo itu. "kami siap!"

Dia menganggap, Tito tak paham hal buruk yang muncul dari ucapannya. Pernyataan Tito itu, justru berpotensi mempertebal stigma terhadap mahasiswa asal Papua.

Terkait memanasnya demonstrasi penolakan rasisme, kata Albert, tak ada yang menyasar ke pendatang di Papua. Sebab mereka hanya menargetkan kantong-kantong administrasi pemerintahan.

"Amber [pendatang dari luar Papua] belum ada korban jatuh karena kami menghargai. Sebab perjuangan orang Papua saat ini ialah perjuangan kemanusiaan, tidak pandang SARA," tuturnya.

"Dalam dua pekan ini amber tidak 'dikorek', itu menunjukkan bahwa orang Papua yang dibilang monyet itu lebih beradab. Lebih menghargai manusia lain," tambah dia.

Kenali Lebih Dekat, Hapus Stigma

Amel, pemilik warung di dekat Asrama Mahasiswa Papua di Condet mengatakan, hingga kini tidak ada mahasiswa asal Papua yang berulah di kampungnya. Apakah mereka pernah mencuri atau melakukan tindak pidana lainnya?

"Tidak pernah ada," jawab perempuan asal Kediri, Jawa Timur itu.

Hal senada juga diungkapkan Sri, istri ketua RT08/04 Balekambang, Jakarta Timur. Dia menganggap mahasiswa asal Papua yang tinggal satu RT dengannya adalah anak-anak yang baik.

"Kadang mereka datang ke rumah untuk lapor diri. Siapapun yang keluar-masuk [menetap atau pindah] asrama pasti beri tahu," ucap Sri. Menurutnya, itu merupakan upaya baik mahasiswa asal Papua untuk menjalin hubungan sosial dengan warga sekitar.

Sama seperti Amel, perempuan asal Wonogiri, Jawa Tengah itu mengaku, tidak pernah melihat atau mendengar adanya peristiwa tindak pidana yang dilakukan oleh mahasiswa asal Papua. Selain itu, kata Sri, keberadaan para mahasiswa itu diterima oleh warga.

"Sudah lama mereka di sini. Dahulu ada perempuan yang jadi ketua mahasiswa [asrama], sering mampir juga. Sekarang dia sudah lulus," tuturnya.

Suma Riella Rusdiarti, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan kerap bersosialisasi dengan mahasiswa dan warga Papua, berpendapat Kapolri Tito Karnavian wajib menjelaskan maksud pernyataannya. Dia khawatir persepsi Tito berdampak buruk.

"Kata 'eksklusif' dari Kapolri, tanpa diberi penjelasan, justru menambah stigma buruk mahasiswa Papua. Seharusnya pernyataan itu tidak perlu, justru Kapolri harus lebih peka terhadap masalah diskriminasi atau rasisme yang mengemuka. Karena ini yang dirasakan oleh teman-teman Papua," kata Riella ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (29/8/2019).

Perihal penanganan perkara di Papua, perempuan yang memiliki dua anak asuh asal Bumi Cenderawasih ini menyatakan semestinya aparat dan pemerintah menjamin keterbukaan. Harus duduk bersama dengan cara bermartabat, guna bicara dari hati ke hati tentang permasalahan mahasiswa Papua.

"Banyak orang Indonesia di luar Papua juga tidak mengenal Papua, hanya mengetahui stigma dan memandang dengan prasangka. Maka perlu pendidikan tentang Papua juga bagi orang Indonesia sebagai satu bangsa," kata editor buku Updating Papua Roadmap ini.

Dia menekankan berdasarkan pengalamannya, mahasiswa atau penduduk Papua itu mudah diajak bertukar pendapat. Duduk sejajar sebagai manusia beradab.

"Mereka akan marah ketika diinjak dan akan sangat menghargai ketika kita juga menghargai mereka," sambungnya.

Ia mengibaratkan Papua itu adalah individu yang sakit kronis, maka harus diobati dengan cara komprehensif dan menyentuh akar masalah, bukan hanya menyelesaikan perkara di permukaan. Riella berpendapat orang-orang yang takut kepada orang Papua karena belum mengenal dan terbawa stigma.

Baca juga artikel terkait Konflik Papua atau tulisan menarik lainnya Dieqy Hasbi Widhana
(tirto.id - dqy/adb)

Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dieqy Hasbi Widhana