tirto.id - Belakangan, publik dikejutkan (lagi) oleh kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ini bukan kasus pertama. Kasus-kasus terdahulu kerap terkubur oleh waktu atau diselesaikan lewat jalan belakang sehingga tak terendus publik.
Menghadapi kasus tersebut, hingga saat ini pimpinan perguruan tinggi tampak masih gamang, baik dalam menindak tegas terhadap pelaku maupun mendampingi korban. Sikap semacam itu bukan hanya tak memberi keadilan bagi korban, tetapi juga tidak menghasilkan pembelajaran untuk perbaikan ke depan. Sikap pimpinan perguruan tinggi itu jelas bertolak belakang dengan kian meningkatnya kesadaran publik baik di Indonesia maupun dunia internasional tentang kekerasan seksual yang tak lagi bisa ditoleransi.
Secara global, gaung kampanye #MeToo telah membangkitkan solidaritas di antara sesama korban kekerasan seksual untuk berani bersuara. Kampanye itu juga menjelaskan tentang bekerjanya relasi kuasa yang membuat korban (umumnya perempuan) terjebak atau sulit keluar dari hubungan yang intimidatif. Kampanye itu juga memunculkan kesadaran bahwa ketimpangan relasi kuasa berbasis gender merupakan latar dari terjadinya kekerasan seksual.
Kegamangan pimpinan perguruan tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual merupakan cermin dari ketimpangan relasi kuasa berbasis gender di kampus. Jika ditelisik lebih jauh, para pengambil kebijakan di perguruan tinggi umumnya laki-laki dengan keterbatasan wawasan, perspektif, dan pemahaman soal kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender.
Ini dapat dilihat dari kecenderungan mereka dalam menangani kasus kekerasan seksual yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan korban. Cyti Daniela Aruan dalam penelitian berjudul “Sumber Daya Manusia dan Gender pada Pendidikan Tinggi Indonesia” mengungkap bahwa ketimpangan gender menjadi fenomena umum di perguruan tinggi di Indonesia.
Meskipun selisih jumlah dosen laki-laki dan perempuan tidak besar, yakni 56 persen laki-laki dan 44 persen perempuan, karier akademiknya sangatlah berbeda. Pada tingkat karier akademik terendah, yakni asisten ahli, jumlahnya masih relatif setara dengan 55 persen laki-laki dan 45 persen perempuan. Namun, pada jenjang karier yang lebih tinggi kesenjangan kian lebar. Posisi lektor kepala, misalnya, diisi oleh 35 persen perempuan. Di level profesor, jumlah perempuan hanya 20 persen (Herdiyanto, 2017).
Di bidang manajerial, potretnya tidak jauh berbeda. Jabatan di level ketua, direktur, dekan, maupun rektor masih didominasi laki-laki. Kurangnya keterwakilan perempuan di level pengambil keputusan itu memengaruhi disparitas gender. Data menunjukkan bahwa proporsi perempuan di golongan jabatan yang semakin tinggi menjadi semakin kecil. Hal tersebut juga terjadi di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang mengelola pendidikan tinggi di Indonesia.
Berdasarkan laman Kemenristekdikti pada 15 April 2017, jabatan struktural eselon I diisi seluruhnya oleh laki-laki. Di level eselon II, porsi perempuan hanya 18 persen. Komposisi semacam itu bagaimanapun memengaruhi kebijakan penempatan dosen, khususnya pada tingkat jabatan tinggi seperti profesor.
Kembali ke kasus kekerasan seksual di kampus, kurangnya keterwakilan perempuan di posisi pengambil kebijakan memengaruhi bagaimana masing-masing kampus menangani kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa.
Ketika ketimpangan gender masih menjadi hal yang umum, kasus kekerasan seksual di kampus pun menjadi fenomena yang terus berulang tanpa keseriusan untuk menyelesaikan kasusnya maupun mencegah kejadian serupa terulang. Kurangnya keterwakilan perempuan dalam posisi pengambil kebijakan itu juga berdampak pada banyak aspek lainnya dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.
Minimnya keterwakilan perempuan di level pengambil kebijakan itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Budaya patriarki telah memprioritaskan laki-laki sebagai pemimpin. Selain itu, peran ganda perempuan membuat mereka kesulitan menapaki jenjang karier. Di lain pihak, perguruan tinggi dikelola dengan kesadaran gender terbatas sehingga tak responsif untuk menyediakan fasilitas yang dapat mendukung kinerja perempuan di kampus. Untuk mengatasi hambatan tersebut, sejumlah perguruan tinggi telah melakukan terobosan.
Mereka sadar bahwa kebijakan afirmatif diperlukan guna meningkatkan keterwakilan perempuan, terutama dalam hal kepemimpinan. Keterwakilan perempuan dalam unsur pimpinan penting guna memastikan setiap kebijakan perguruan tinggi mengakomodasi keadilan gender.
Tentu kemampuan untuk bersikap adil gender tidak eksklusif milik jenis kelamin tertentu. Namun, pengalaman sehari-hari perempuan akan lebih bisa menjamin munculnya kesadaran tentang perlunya kebijakan yang tepat guna mendorong pengembangan karier perempuan maupun menyediakan ruang aman bagi perempuan di kampus.
Sudah ada langkah dari sejumlah perguruan tinggi di dunia dalam mendorong keterwakilan perempuan. Upaya itu diterapkan dengan tak sekadar melihat jumlah penelitian dan publikasi, namun memperhitungkan budaya, agama serta peran ganda perempuan dalam rumah tangga.
Australian National University (ANU) di Australia, misalnya, menerapkan kebijakan “achievement relative to opportunity” yang mengakui prestasi dosen dengan mempertimbangkan kesempatan yang dimiliki, khususnya berkurangnya kesempatan karena menjalankan peran sebagai pengasuh anak/orangtua.
Selain itu, ANU berpartisipasi dalam “Athena SWAN Charter” yang menyediakan kerangka evaluasi dan akreditasi terkait keadilan gender di bidang sains, teknologi, rekayasa, matematika, dan kedokteran (STEM). University of Canberra di Australia menerapkan kebijakan responsif gender dalam sistem perekrutan dengan target meningkatkan keterwakilan perempuan dalam sistem pengembangan kepemimpinan.
Universitas ini juga mengimplementasikan sistem kerja fleksibel dan ramah keluarga. Di Inggris, City University of London menerapkan kebijakan promosi staf akademik tanpa membedakan jenis kelamin. Untuk mengembangkan kepemimpinan perempuan, universitas ini mendirikan pusat pelatihan bernama Aurora. Sedangkan di University of Oslo, Norwegia, kebijakan kesetaraan gender dicantumkan dalam rencana strategis perguruan tinggi dengan target meningkatkan keterwakilan perempuan di semua lini.
Di Indonesia, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga menerapkan kebijakan afirmatif dalam rekrutmen pejabat. Hasilnya, tiga dari tujuh dekan yang menjabat adalah perempuan ditambah seorang wakil rektor perempuan. Hal serupa juga diberlakukan pada level jabatan struktural lainnya. Beragam upaya yang telah dilakukan oleh sejumlah perguruan tinggi tersebut patut jadi contoh.
Tanpa kebijakan semacam itu, mustahil ketimpangan gender beserta berbagai dampaknya bisa diatasi. Kebijakan afirmatif perlu segera diterapkan guna meningkatkan karier akademik perempuan dan mendorong keterwakilan perempuan dalam memimpin perguruan tinggi.