Hari Anak Nasional, Soeharto, dan Bapakisme Negara Orde Baru

Penulis: Husein Abdulsalamtirto.id - 23 Jul 2018 00:00 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Bertanya lugu.
Presiden hanya satu?
Senyuman kaku.

tirto.id - Pada suatu siang yang cerah, Presiden Soeharto, istrinya, Siti Hartinah, dan sejumlah pejabat berkumpul bersama anak-anak di Istana Negara. Suasananya begitu menyenangkan. Hari itu mereka tengah merayakan Hari Anak Nasional, 23 Juli 1994, tepat hari ini 24 tahun lalu.

Hari Anak Nasional secara resmi diperingati setiap 23 Juli. Tanggal tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1984.

Anak-anak yang berkumpul di Istana siang itu diberi kesempatan untuk bertanya kepada Bapak Presiden. Sembari menampilkan senyumnya yang masyhur, Soeharto menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan.

Salah seorang anak yang memperkenalkan diri bernama Hamli dan berasal dari Banggai, Sulawesi Tengah bertanya, “Mengapa presiden di Indonesia cuma satu? Padahal Indonesia sangat luas.”

"Eahahahaha..." Soeharto tertawa, diikuti para hadirin.

Perlahan, dengan suara bariton yang jadi ciri khasnya, Soeharto menjawab, "Ya terang itu, presiden itu hanya satu, untuk memimpin bangsa dan negara. Kalau sampai dua-tiga itu nanti lantas tidak bisa berjalan dengan baik."

"Banyak pemimpin, banyak kapten, kemudian lantas negara menjadi rusak," lanjutnya.

Usai menjawab, Soeharto menjelaskan soal sistem pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bahwa seorang presiden, katanya, bisa dipilih untuk lima tahun dan lima tahun lagi dan lima tahun berikutnya dan seterusnya—entah sampai kapan.

Kemudian, terjadilah sesuatu yang barangkali membuat siapapun yang hadir di situ bergidik, meski dalam suasana penuh canda. Soeharto balik bertanya kepada Hamli, tetap sembari tersenyum, tapi dengan gaya interogatif bak sersan Kopkamtib menguliti tangkapannya:

"Kenapa kamu tanya begitu? Heh?"

Hadirin tertawa.

Soeharto mengulangi lagi, "Kenapa? Kenapa kamu tanya begitu?"

Hening sejenak.

"Siapa, yang suruh siapa?"

Soeharto terkekeh membahana diikuti hadirin yang kembali tertawa.

"Kalau di rumah juga begitu. Kan, tidak ada bapak 2-3. Iya, tho? Bapak itu hanya satu, tho? Yang memimpin rumah tangga itu bapak. Ya hanya satu."

Para hadirin memang patut bergidik jika kita tahu—meminjam kalimat Irfan Satryo Wicaksono dalam sebuah artikelnya di media ini—"pada zaman itu orang-orang yakin bahwa hanya kiamat yang bisa bikin Soeharto mengucapken 'saya berhenti'."

Maka demikianlah, hari itu Hamli dari Banggai berhasil melontarkan pertanyaan paling subversif yang pernah dilakukan orang Indonesia tepat di depan hidung Soeharto.

Perayaan Hari Anak Nasional itu direkam dan disiarkan ke seluruh penjuru tanah air. Belasan tahun kemudian, seseorang mengunggah rekamannya di YouTube dan sempat menjadi viral di media-media sosial.

Kini, pertanyaan Soeharto kepada Hamli boleh jadi pertanyaan presiden Indonesia kepada anak-anak yang paling dikenang sepanjang masa.

Negara sebagai Keluarga

Banyak orang menganggap Hamli pemberani karena bertanya tentang hal yang secara politis amat sensitif kepada Soeharto.

Mempertimbangkan watak otoriter tiran Orde Baru itu, para pemirsa tahu betul di balik keramahan dan tawa penuh canda kalimat "Siapa, yang suruh siapa?" Soeharto seolah-olah tengah mengintai lawan-lawan politiknya.

Sementara dalam pernyataan Soeharto mengenai posisi presiden Indonesia, ada hal yang tersirat: ia mengibaratkan kekuasaan presiden Indonesia dengan kepemimpinan bapak dalam keluarga. Dengan kata lain, Soeharto memahami Indonesia sebagai sebuah keluarga besar.

Semasa Orde Baru, Indonesia memang dibayangkan sebagai sebuah keluarga besar. Di dalamnya, relasi negara dan rakyat terjalin seperti hubungan orang tua dan anak. Aria Wiratma Yudhistira menuliskan dalam Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an(2010) bahwa keluarga besar tersebut dibayangkan berlatarbelakang Jawa.

“Orang tua harus memerhatikan, membimbing, dan mengayomi anak-anaknya, sedangkan sang anak mesti menghormati orang tuanya. Bila keadaan itu tidak terselenggara dengan baik maka akan menimbulkan kegoncangan yang bakal mengganggu ketertiban,” sebut Aria.

Karena itu, rakyat, terutama anak-anak muda, diwacanakan oleh orang-orang tua supaya dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Dengan imajinasi dan tindakan sebagai orang tua, para pejabat berusaha mendisiplinkan rakyat seperti halnya mereka mengasuh anak-anak. Para pejabat yang berlaku seperti orang tua itu, misalnya, melarang anak-anak muda berambut gondrong.

“Dalam konteks awal 1970-an, aksi anti-rambut gondrong yang dilakukan negara merupakan bentuk dari usaha mendisiplinkan anak-anak muda demi menjaga keteraturan dari sebuah tatanan yang disebut Orde Baru,” tutur Aria.

Model pendisiplinan orang tua terhadap anak termaktub dalam istilah “Asal Bapak Senang” alias ABS. Istilah ini menggambarkan para pegawai berpangkat rendah sebagai anak yang pada akhirnya menuruti apa saja yang diinginkan atasan yang dianggap sebagai orang tua. Pegawai itu mau tak mau melakukannya, meski tidak sesuai peraturan atau harapannya.

Selain itu, yang paling dikenang dan terkait erat mengenai relasi Soeharto dan para pembantunya—menteri, perwira militer, dan pejabat lain—ialah ungkapan “menurut petunjuk bapak presiden”. Ungkapan ini kerap dilontarkan para menteri ketika ditanyai soal rencana dan program mereka. Para menteri juga menggunakan ungkapan ini untuk melegitimasi bahwa yang dilakukannya telah disetujui Presiden Soeharto.

Dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (1989), Soeharto menjelaskan soal ungkapan “petunjuk bapak presiden” tersebut. Dia tidak menampik bahwa para menterinya datang, meminta petunjuk, dan mencocokkan rencana mereka dengannya.

“Mereka sendiri sebenarnya sudah mempunyai pikiran, pendapat tentang itu. Tetapi mereka perlu menge-checknya supaya jangan sampai salah atau terjadi macam-macam. Supaya jangan sampai bergerak sendirian, saya memberikan petunjuk. Begitulah,” sebut Soeharto.

Taman Siswa dan Mula Keluarga Indonesia

Menurut Saya S. Shiraishi dalam Young Heroes: The Indonesian Family in Politics (1997), pada era Orde Baru, Soeharto berlaku sebagai Bapak tertinggi (supreme Father) Indonesia. Namun, itu hanya satu bagian dari perjalanan panjang gagasan mengenai keluarga dan familisme di Indonesia.

Gagasan keluarga Indonesia tercipta pada 1920-an melalui sistem pendidikan yang dibuat Ki Hajar Dewantara. Menurut Shiraishi, gagasan mengenai kekeluargaan itu menyebar dari Taman Siswa, sekolah yang didirikan Ki Hajar Dewantara, ke pemerintahan ketika para alumni Taman Siswa memegang jabatan di birokrasi dan militer.

Shiraishi menyebutkan Taman Siswa mencoba metode pendidikan baru "gaya keluarga" di dalam kelas. "Mereka diminta memanggil guru mereka dengan sebutan bapak dan ibu. Para guru, bapak dan ibu tersebut, membiarkan anak-anak didik mereka bermain dan belajar menurut kemampuan dan kemauan sendiri. Meski begitu para guru tetap mengawasi dan membimbing mereka dari belakang," catat Shiraishi.

Ki Hajar Dewantara menganggap kata "Tuan", "Nyonya", dan "Nona"; kata sejenis dalam bahasa Belanda seperti "Meneer", "Mevrouw", dan "Juffrow"; atau kata sejenis dalam bahasa Jawa seperti "Mas Behi", "Den Behi", dan "Ndoro" menyiratkan superioritas dan inferioritas status.

"Setelah Republik Indonesia merdeka nanti, sebutan itu (Bapak dan Ibu) disarankan untuk digunakan secara formal oleh pejabat muda untuk memanggil yang lebih tua," kata Ki Hajar.

Taman Siswa didirikan pada 1922. Sepuluh tahun kemudian, sistem keluarga ala Taman Siswa menang atas sistem pemerintah kolonial. Saat itu, Taman Siswa menentang aturan pemerintah kolonial mengenai pembubaran "Sekolah Liar". Elan Taman Siswa ini juga didukung organisasi nasionalis yang telah marak didirikan.

Pemerintah kolonial akhirnya meniadakan aturan "Sekolah Liar" pada 1 Oktober 1932. Hari itu dianggap Ki Hajar sebagai hari kebebasan.

"Figur bapak, yang dipersonifikasikan oleh Ki Hajar Dewantara, memapankan peran yang menonjol dalam proses pembentukan tradisi nasional Indonesia tanpa melupakan kenangan atas kemenangan tersebut. Dari sinilah familisme tumbuh," sebut Shiraishi.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/07/22/hari-anak-nasional--mozaik--nadya_ratio-9x16.jpg" width="859" height="1527" alt="infografik mozaik hari anak nasional" /

Asas Kekeluargaan dan Ideologi Negara

Sejauh apa gagasan kekeluargaan ala Taman Siswa merasuki sendi-sendi kekuasaan dicatat David Reeve pada subbab “Ki Hadjar Dewantoro dan ‘Asas Kekeluargaan’” dalam buku Golkar, Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika (2013).

Muhammad Hatta, sebagai penyusun pasal-pasal ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945, mengungkapkan bahwa asas kekeluargaan yang termaktub dalam kalimat “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (pasal 33 ayat 1) merupakan istilah dari Taman Siswa.

Ketika mengusulkan sistem Demokrasi Terpimpin pada 1958, Sukarno mengatakan, “Saudara bisa bertanya kepada Ki Hadjar Dewantoro. Pada 1928, tiga puluh tahun lalu, Ki Hadjar Dewantoro berkata bahwa kita membutuhkan Democratie met Leiderschap, Demokrasi dengan Kepemimpinan.”

“Selama Orde Baru, dua jenderal terkemuka Indonesia, Nasution dan Presiden Soeharto, juga mengaku bahwa asas kekeluargaan menjadi prinsip dasar mereka,” ujar Reeve.

Selaras dengan asas kekeluargaan itu, Julia Suryakusuma menuliskan dalam Agama, Seks, dan Negara (2012) bahwa ideologi negara Orde Baru juga dapat dinamakan Bapak-ibuisme di mana “bapak” sebagai sumber kekuatan primer kekuasaan dan “ibu” sebagai perantara kekuasaan tersebut.

Dengan begitu, bapakisme memimpin kekuasaan formal, sementara ibuisme memimpin kekuasaan informal. Menurut Julia, dalam negara berideologi macam itu, perempuan didefinisikan seturut relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya.

Semasa Orde Baru, perempuan diorganisasi dalam wadah kegiatan istri pegawai seperti Dharma Wanita. Melalui Dharma Wanita, perempuan diarahkan dalam aras budaya “ikut suami”. Secara ideologis, Dharma Wanita berusaha membentuk perempuan sesuai cetakan ibuisme negara. Dharma Wanita juga menjadi perantara penanaman priyayisasi, feodalisme Jawa, dan asas kekeluargaan.

Dalam wawancaranya dengan Tirto pada November 2017, Julia mengatakan bahwa negara masih mengintervensi kehidupan masyarakat hingga ranah privat, misalnya dalam seksualitas. Ini mewujud dalam peraturan pegawai negeri sipil tidak diperbolehkan menikah lagi atau program Keluarga Berencana. Ibuisme negara, menurut Julia, juga bertransformasi dalam bentuk ibuisme agama.

“Sampai sekarang masih dianggap relevan tapi lembaganya bukan negara melainkan agama. Mulai dari cara berpakaian, cara berperilaku sama seperti ibuisme negara. Hanya, sekarang [yang ada adalah] ibuisme agama,” ujar Julia.

Wacana bahwa pemimpin pemerintahan adalah orang tua bagi rakyatnya masih ditemui hingga hari ini. Pada debat putaran ketiga Pilkada DKI Jakarta 2017, Jumat (10/2/2017), misalnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengatakan bahwa gubernur dan wakil gubernur adalah orang tua yang selalu ingin memberikan layanan terbaik kepada anak mereka. Anak yang dimaksud ialah warga DKI Jakarta.

"Saya sampaikan tadi, kami itu seperti orang tua pada anak. Mau perempuan, mau laki-laki, ketika kamu mulai curang, kamu nakal, tentu sebagai orang tua kami menghardik. Itu yang kami lakukan," ujar Ahok dalam jumpa pers usai debat.

Baca juga artikel terkaitHari Anak Nasionalatau tulisan menarik lainnyaIvan Aulia Ahsan
(tirto.id - ivn/hsa)

Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan