Fatima, Muslimah yang Membangun Universitas Tertua di Dunia

Reporter: Arman Dhanitirto.id - 18 Jun 2017 04:15 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Lahir dari saudagar yang kaya raya dan berpendidikan, Fatima al-Fihri meninggalkan salah satu warisan terpenting dalam sejarah peradaban Islam dan intelektualisme di Afrika Utara.

tirto.id - Perempuan dalam sejarah Islam kerap dijadikan sekadar catatan kaki, yang bikin nama-nama mereka tenggelam. Padahal ada banyak perempuan yang berperan penting dalam pencatatan hadis seperti yang dilakukan oleh Aisyah ra, putri Abu Bakar, kalifah pertama sesudah Rasulullah meninggal.

Hadis-hadis yang diriwayatkan Aisyah tak hanya jadi sumber rujukan primer, tapi juga dianggap otoritatif dalam menentukan apakah suatu perkara pernah dihadapi Nabi atau tidak. Sesudahnya, jejak dan peran perempuan dalam peradaban Islam nyaris sedikit sekali diingat sejarawan atau intelektual.

Misalnya, berapa dari kita yang tahu ada perempuan muslim bernama Fatima al-Fihri?

Dalam catatan sejarah, ia dan adiknya, Mariam al-Fihri, dikenal sebagai pendiri madrasah Al-Qarawiyyin, universitas dan perpustakaan tertua di dunia, yang masih beroperasi hingga hari ini. Universitas Al-Qarawiyyin didirikan Fatima dan Mariam pada Ramadan 245 H atau 859 Masehi.

Mengapa jejak saudara kandung al-Fihri ini penting?

Keteladanan Fatima dan Mariam menunjukkan bagaimana komitmen dua perempuan terhadap perkembangan ilmu, khususnya yurisprudensi Islam, membuat mazhab Maliki menjadi tetap terawat. Perpustakaan Universitas Al-Qarawiyyin menyimpan banyak teks orisinal hukum Islam dari mazhab Maliki. Selain itu, kisah pendirian madrasah yang kemudian berkembang menjadi perpustakaan dan universitas ini menunjukkan bagaimana kedermawanan dan ilmu pengetahuan bisa menyelamatkan peradaban.

Fatima al-Fihri lahir pada 800 Masehi. Ia putri dari Abdullah Muhammad al-Fihri, seorang saudagar yang berhijrah dari Kairouan di Tunisia ke Maroko saat Raja Idris II berkuasa. Setelah suami dan adik lak-lakinya meninggal, Fatima dan Mariam mewarisi harta yang sangat besar. Kedua perempuan ini melakukan wakaf harta yang mereka miliki untuk kepentingan umat. Fatima lantas mendirikan masjid Al-Qarawiyyin, sementara Mariam mendirikan masjid Al-Andalus.

Hasil pendidikan dari orangtuanya membuat Fatima ingin memberikan sesuatu kepada umat. Suatu hari, saat berjalan, ia menemukan bahwa masjid di Fes tak lagi cukup memuat umat. Tidak hanya itu, Fatima—yang menyukai ilmu pengetahuan dan ingin menyebarkan agama secara lebih baik lagi—lantas memikirkan bagaimana cara agar bisa menggabungkan antara masjid dan madrasah di satu tempat. Ia kemudian membeli tanah yang luas dan, di atasnya, ia membangun tempat umat Islam beribadah sekaligus tempat kaum muslim sekolah.

Saat pembangunan masjid itu, Fatima melaksanakan puasa dan berjanji tak akan berhenti hingga pembangunan masjid itu selesai. Ia juga mengawasi langsung pembangunan masjid tanpa pernah sekalipun meninggalkan ibadah. Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa Fatima meminta agar pembangunan masjid memakai material dari warga setempat. Batu dan pasir yang dipakai adalah material yang ia beli dari tanah yang ia miliki. Seluruh batu bata, atap, hingga lantai berasal dari tanah liat yang ada di sekitar Fes.

Fes adalah kota kedua terbesar di Maroko, dan tercatat sebagai salah satu situs pusaka dunia UNESCO. Kota ini dianggap sebagai "Mekkah dari Barat" dan "Athena dari Afrika."

src="https://mmc.tirto.id/image/2017/06/18/Infografik-Al-Fihri-Al-Quraysh-Al-Ilmu.jpg" width="860" alt="Infografik-Al-Fihri-Al-Quraysh-Al-Ilmu" /

Apa yang menarik dari Universitas Al-Qarawiyyin, selain ia sebagai kampus tertua di dunia, adalah lembaga pendidikan pertama ini menggabungkan elemen kebudayaan, agama, sains, dan pengetahuan umum dalam kurikulumnya.

Banyak murid universitas ini tidak hanya dari kalangan muslim tapi juga nonmuslim. Dr Corisande Fenwick, profesor yang fokus pada sejarah Mediterania dan abad pertengahan, menyebut bahwa Paus Silvester II (946-1003) semasa muda pernah belajar di universitas ini. Diduga saat belajar di Universitas Al-Qarawiyyin, Paus Silvester II mengembangkan minatnya pada bahasa Arab, matematika, dan astronomi.

Selain Paus Silvester II, beberapa sarjana Barat seperti Nicolas Cleynaerts (1495-1542) dan Jacobus Golius (1596-1667) disebutkan pernah belajar di Universitas Al-Qarawiyyin. Cleynaerts adalah seorang Yahudi yang mempelajari bahasa Arab untuk memahami Alquran. Ia belajar selama lima belas bulan di Fes untuk memperoleh pemahaman mengenai bahasa dari orang-orang Maroko. Sementara Golius adalah seorang orientalis dari Universitas Leiden yang belajar tentang bahasa Arab dan matematika di Fes. Golius dikenal sebagai orang yang mengajarkan matematika untuk filsuf Rene Descartes (1596-1650).

Universitas Al-Qarawiyyin juga menjadi tempat belajar al-Hasan ibn Muhammad al-Wazzan (1494-1554), seorang diplomat yang ditangkap oleh pasukan Spanyol dan dibawa ke Roma. Saat itu pertikaian antara umat muslim dan Katolik membuatnya menjadi tawanan dan diperlakukan sebagai hamba. Saat tuannya tahu kecerdasan Muhammad al-Wazzan, ia lantas diberikan kebebasan dan tawaran untuk menjadi orang merdeka. Muhammad al-Wazzan kemudian dibaptis sebagai Leo Africanus, yang dikenal sebagai penulis buku penting Descrittione dell’Africa (Gambaran Afrika).

Di kalangan muslim juga ada nama besar yang belajar di Universitas Al-Qarawiyyin, seperti matematikawan Abu al-Abbas az-Zawawi serta Ibnu Khaldun, sejarawan-cum-sosiolog muslim paling terkenal dalam sejarah Islam.

Selain universitas, Al-Qarawiyyin juga menyimpan lebih dari 4.000 buku langka yang bisa terlacak hingga tahun terbit pada abad 9. Beberapa koleksi dari perpustakaan Al-Qarawiyyin adalah Muwatta Malik, sehimpunan hadis yang disusun oleh imam Malik, yang ditulis pada kulit gazel (hewan sejenis antelop kecil yang terdapat di Afrika dan Asia). Ada juga sebuah Alquran dari pemberian Sultan Ahmad Al-Mansur Al-Dhahabi, seorang penguasa Maroko, tertanggal 1602, dan salinan asli kitab Ibnu Khaldun, Kitab al-'ibar. Beberapa kitab dari Ibnu Rusyd juga disimpan di universitas ini.

Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti, dan pemikir Islam di pelbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam—melalui para sarjana dan pemikir muslim—pernah, sedang, dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "Ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkaitAl-ilmu Nuurunatau tulisan menarik lainnyaArman Dhani
(tirto.id - dan/dan)

Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam