Buzzer dan Polisi dalam Pusaran Grup Whatsapp STM

Reporter: Adi Briantika & Reja Hidayattirto.id - 02 Oct 2019 19:10 WIB
Diperbarui 03 Oct 2019 10:51 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Buzzer menyerang massa aksi Reformasi Dikorupsi dari berbagai sisi. Dari isu ditunggangi, ambulans pembawa batu, dan STM bayaran.

tirto.id - Eko Kunthadi memutuskan menghapus twitnya tentang demo pelajar STM pada 30 september kemarin. Dalam cuitan itu dilampirkan sejumlah tangkapan layar grup whatsapp STM.

"Anak-anak ditipu bandar. Digiring ke penjagalan untuk membakar Jakarta. Diperhadapkan dengan polisi. Mereka memang biadab!" cuit Eko.

Keputusan Eko menghapus twitnya itu lantaran ia meragukan kebenaran informasi yang baru saja ia posting. "Jangan terlalu dibesar-besarkan permasalahan ini. Saya hapus bukan karena salah tapi belum tahu kebenarannya. Di medsos biasa aja, jangan satu merasa suci. Jadi biasa aja," kata Eko kepada Tirto Selasa malam.

Akun @OneMurtadha yang memposting hal serupa juga menghapus cuitannya. Twitnya begini :

"Twitter, please do your magic. Dicari bohir yang janjiin duit buat anak STM yang ikut demo. Anak-anak itu kini terlunta-lunta dengan kancut basah gak punya ongkos pulang."

Bersama twit itu, ia juga menyertakan beberapa hasil tangkapan layar grup whatsapp STM yang sama dengan yang diposting Eko. Eko dan Murtadha memang sering dituding netizen sebagai buzzernya pemerintah. Tapi Eko tidak peduli.

“Kalau ada yang bilang saya buzzer pemerintah, ya biar saja. Tapi saya adalah buzzer untuk diri saya sendiri,” kata Eko.

Bagian penting dari postingan keduanya adalah tangkapan layar percakapan grup Whatsapp pelajar STM. Di situ terlihat sejumlah nomor telepon para anggota grup. Nomor-nomor tersebut dicurigai oleh netizen sebagai nomor milik polisi.

“Ini buzzer istana gobloknya kebangetan. No di bawah kalau dicek pake Truecaller keluar nama plokis semua,” tulis akun Grimaldy Sinaga sambil melampirkan twit Murtadha One-sudah dihapus.

Hasil Pelacakan True Caller

Untuk menguji cuitan netizen itu, Tirto menggunakan dua aplikasi untuk mengecek nomor-nomor tersebut. Dua aplikasi yang dipakai adalah True Caller dan getcontact. Cara kerja aplikasi itu adalah mengumpulkan nomor telepon berdasarkan nama yang disimpan para pengguna aplikasi. Hasil pengecekan dari dua aplikasi itu sebagai berikut :

Nomor hanphone 081310499xxx diuji dengan True Caller muncul nama “Let Ilham Agis Polda Metro”. Di aplikasi Getcontact muncul dengan nama “Bang Agis Rena Polda”. Nomor tersebut menjadi anggota grup “Anak STM Kimak Bacot”. Dalam grup itu nomor itu sempat mengirimkan pesan, “Woy pada di mana gua naek gojek uangnya kurang ni.” Saat Tirto menghubungi, nomor tersebut tidak aktif.

Nomor 087840438xxx, dalam True Caller bernama “Bripda Eggy Septiadi”. Di aplikasi Getcontact bernama “Bripda Egi Pusdokkes Ops”, “39 Eggy Dokkes Mabes Polri” dan “Egy S”. Dalam percakapan itu, Eggy mengatakan “apalagi gua, keringet semua sampai basah ke kancut”.

Nomor 087887087xxx dalam aplikasi True Caller nomor tersebut bernama “isilop lagi nyamar jadi anak STM” namun dalam aplikasi Getcontact bernama “Daylen”. Dalam percakapan di grup STM tersebut nomor ini menggunakan nama “Dell Kur” dan sempat mengirim pesan, “Ngambil duitnya di mana bangsat? katanya mau dibagiin.”

Menariknya, dalam grup G30S STM Allbase ada yang bernama Raski Dwi dengan foto profil pada pukul 23.31 (30 September). Nama tersebut keluar setelah mencantumkan nomor 081314991xxx. Dalam aplikasi Getcontact orang-orang menyimpan nomor tersebut dengan nama “Mbs Raski Dwi Propam” dan “Dtn Raski Divpropam”.

Dalam grup tersebut, ia mengatakan “Duit mane nih kampret aus”. Namun saat Tirto mencoba mengecek lagi hari ini menggunakan Getcontact, foto profilnya dihapus dan menambahkan nama “Raski” dan “Rasky”.

Sementara itu, tim Merdeka.com semalam berhasil menghubungi salah satu nomor yang masuk dalam grup whatsapp mengatasnamakan anak STM. Ketika disebut namanya, dia langsung menjawab "Siap". Kami mencoba menanyakan situasi di DPR karena sejak sore demonstran berkumpul dan terjadi bentrok sampai dengan malam.

Saat disebut berdinas di salah satu kantor polisi Jakarta, pria itu membenarkan. Lantas, dia bertanya balik, 'izin, ini dengan siapa?'. Setelah tahu dihubungi jurnalis, dia menjawab. "Saya tidak bisa kasih keterangan, silakan dengan yang lain." Telepon pun selesai.

Mantan Sekpri Petinggi Polri

Selain melalui aplikasi, Tirto juga mencocokkan sejumlah nomor yang ada di grup STM itu. Salah satu yang mencurigakan adalah nomor Kartu Halo 08111002xxx. Tirto mengecek melalui aplikasi pembayaran tagihan kartu halo dan terkonfirmasi nomor terdaftar atas nama Bamxxxxxxxxxxxxxxgar dengan tagihan pada bulan Oktober 2019 sebesar Rp 4,8 juta.

Berdasarkan data lain yang didapat Tirto, nomor tersebut adalah milik Bambang Haryanto Siregar, mantan sekretaris pribadi Komjen Pol Arief Sulistyanto. Nomor tersebut tercatat dalam dokumen petinggi polri tahun 2013. Saat itu Arief masih menjabat sebagai Dirtipideksus Bareskrim Polri.

Bambang juga tercatat pernah menjadi saksi ahli kasus berita hoax percakapan Kapolri Drs. Tito Karnavian dengan Kapolda Jawa Barat Irjen Charlian soal Bom Panci di Pengadilan Negeri Bengkalis pada Mei 2017. Saat itu Bambang sebagai saksi ahli dari Tim Cyber Mabes Polri.

Rekam jejak Bambang juga terlihat dalam kasus koruptor Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat pada tahun 2011. Saat itu, Bambang bertugas menyedot data dari ponsel milik Nazaruddin.

Jejak digital Bambang juga tercatat dalam website jual beli mobil garasi.id. Dalam laman itu Bambang menjual mobil Chevrolet Captiva dan meninggalkan nomor telponnya di sana. Tirto menghubungi nomor Bambang namun tidak aktif.

Dalam aplikasi Getcontact nomor Bambang itu tercatat diberi nama “Bambang Siregar Cyber”, “Bambang Siregar Siber”, “Bambang Siregar Cyber Mabes” dan “Siregar Cyber Mabes Polri”. Nama-nama tersebut sesuai dengan identitas Bambang Haryanto Siregar.

Tanggapan Polisi

Sementara itu, Mabes Polri mengklaim isu polisi bergabung dalam grup WhatsApp siswa yang berdemo pada 30 September sebagai upaya "propaganda".

"Kami paham betul yang ada di media sosial, sebagian besar adalah anonim. Narasi yang dibangun ialah propaganda," ucap Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Selasa (1/10/2019).

Dedi menegaskan pihaknya akan menyelidiki nomor-nomor telepon yang ada di grup WA tersebut. Akan tetapi, Dedi enggan memastikan anggota Polri terlibat di dalam percakapan tersebut.

"Belum bisa dipastikan. Kalau itu anggota polisi pun belum bisa dipastikan dan narasinya saya belum baca, (apakah) ada unsur pidana? Nanti jajaran multimedia (dari Polri) akan membuat literasi digital ke masyarakat agar masyarakat bisa cerdas menggunakan media sosial," kata Dedi.

Sehari kemudian Polisi sudah menangkap tujuh orang yang berada di dalam grup tersebut. Namun tidak ada satu pun dari ketujuh orang tersebut bekerja sebagai polisi. Satu orang pembuat grup ditetap sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Tirto mengonfirmasi soal nomor milik Bambang Siregar yang teridentifikasi sebagai polisi. Namun, Dedi tidak memberikan jawaban. Dedi hanya menjawab pertanyaan terkait langkah polisi apabila ada anggota yang benar terlibat dalam grup Whatsapp tersebut.

“Ga ada itu Mas, sudah saya tanyakan ke pak Rickynaldo. Saya belum dapat update lagi,” ujar Dedi.

Bersatu Melawan Hoaks

Melihat buzzer yang bebas dari jerat polisi ini, Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit mengatakan pesismistis. Menurutnya, percuma bila berupaya membawa kasus seperti itu ke jalur hukum karena ia yakin masyarakat tidak akan menang.

Sehingga ia menyarankan agar masyarakat memberikan edukasi tentang penyebaran hoaks. “Jadi mending kita edukasi kepada publik apa yang dilanggar dan bagaimana melaporkannya. Sebagai buzzer pemerintah, harusnya memberi contoh yang benar bukan bangga melakukan pelanggaran dengan terang-terangan,” kata Fahmi.

Selama aksi Reformasi Dikorupsi yang dilakukan oleh mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil, Fahmi sudah memantau penyebaran hoax di twitter.

Misalnya dalam kasus ambulan membawa batu, drone Emprit menganalisis penyebaran isu ambulan pertama kali pada tanggal 25 September dari jam 00 sd 21.59. Saat itu, terjadi demo, dan ada jaringan pejuang informasi ambulans yang aktif membagi informasi di twitter yang dimotori oleh @Anandabadudu dan @geurigu dengan 4.655 retweet.

Namun, pada jam 23.53 akun @OneMurtadha mengirim twit pertama, lalu dilanjutin 5 twit lanjutan hingga jam 01.24 wib (26 September) dengan node yang besar. Semua twit tersebut dilakukan oleh akun influensial seperti @Dennysiregar7. Baru pukul 02.15 diunggah akun @TMCPoldametro. Hasilnya 3.760 berhasil di twit ambulan membawa batu.

Saat informasi jadi viral, serang sana-sini semakin gaduh. Bukan hanya di twitter, isu kemudian masuk ke media online, tv dll. Alhasil peta Social Network Analysis (SNA) menampilkan adanya dua cluster; penyebar isu dan kontra narasi oleh publik.

Fahmi mengatakan twit terpopuler berupa kontra narasi atas tuduhan soal ambulan DKI. Twit yang memenangkan narasi tersebut di antaranya @RiotoroMD, @fahiraidris, @Sandalista1789, @Dandy_Laksono. Pada akhirnya isu ditutup setelah Polisi melakukan klarifikasi dan mengakui kesalahan dalam tuduhan.

"Bagaiamana isu, tuduhan, desas-desus (kalau tidak mau dibilang hoaks) tersebut terpecahkan? Terlihat pola "self-defense" publik," kata Fahmi dalam akun twitternya.

Fahmi menambahkan, untuk memecah konsolidasi mahasiswa, narasi yang dibangun buzzer pro pemerintah dengan tagar #MahasiswaPelajarAnarkis. Alhasil buzzer berhasil membangun narasi negatif kepada aksi mahasiswa di depan gedung DPR yang mengawal UU dan RUU yang bermasalah

"Ini bisa pengaruh, misal yang twit aksi mahasiswa #genjayamemanggil, dikubu pemerintah dibuat #MahasiswaPelajarAnarkis. Awalnya dibuat giveaway, hanya beberapa influencer mereka dan itu masuk. Mereka mengangkat tagar lain. Dengan memberikan tagar, narasi pecah sehingga mahasiswa tidak solid. Dampaknya efektif," kata Fahmi kepada Tirto, Selasa (1/10/2019).

Berdasarkan hasil analisis Drone Emprit, pada hari H, volume #GejayanMemanggil2 hanya 40k, kalah dibanding #GejayanMemanggil 180k. Bahkan masih kalah dibanding #ReformasiDikorupsi 47k. Bahkan tagar #MahasiswaPelajarAnarkis berhasil membangun narasi negatif kepada aksi 30 September 2019.

Fahmi mengatakan serangan buzzer berawal dari kasus UU KPK dan publik terbelah. Bahkan Anita Wahid diserang karena memabahas KPK terkait upaya pelemahan lembaga antirasuah. Pada awalnya publik tak paham, namun ketika mahasiwa demo publik baru sadar. Mahasiswa jadi gong membahas RUU bermasalah dan berdampak besar pada Presiden Jokowi. Setelah demo dimulai, buzzer pemerintah mulai definisi mahasiswa dan pelajar itu sendiri.

"Pokoknya semuanya diserangin (buzzer pemerintah), mereka yang ikut demo, meskipun membantu seperti tim kesehatan," kata Fahmi.

__________________

Catatan : Kami merevisi bagian nama pemilik kartu halo 08111002xxx karena kesalahan pengutipan yang kami tulis dalam laporan ini. Dalam pengecekan kami di situs Traveloka hanya tertera nama Bamxxxxxxxxxxxxxxgar. Atas kealpaan ini kami meminta maaf.

Baca juga artikel terkaitDemo Mahasiswaatau tulisan menarik lainnyaReja Hidayat
(tirto.id - rej/krs)

Reporter: Adi Briantika & Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Mawa Kresna