tirto.id - Ketika Rey Utami menemukan jodohnya lewat aplikasi Tinder, beberapa komentar sinis muncul. Ada yang menyebutnya sebagai gold digger atau perempuan matre. Perundungan atau perisakan atau bullying macam ini di media sosial memang bukan hal baru. Perempuan, remaja, dan partisan kelompok politik adalah kelompok yang kerap menjadi korban atau pelaku bullying di media sosial.
Pendiri PurpleCode, Dyhta Caturani, menyebut perempuan lebih rentan mengalami bullying di media sosial. Mereka kerap direndahkan dengan disertai atribut seksual atau referensi lain dengan tujuan menghina.
"Laki-laki yang diserang ide atau statement di mana kita bisa berdebat dengan argumentasi yang sama masuk akal. Sementara perempuan sangat berbeda, yang diserang personal, tubuh," katanya dalam kampanye #PositionOfStrength, seperti dikutip Antara.
Joel Stein menuliskan artikel panjang di Time soal mengapa masyarakat modern tunduk pada budaya kebencian di internet. Alih-alih memajukan dan menjadi sarana bertukar informasi yang sehat, internet khususnya media sosial, menjadi tempat untuk saling menghina dan menghancurkan hidup orang lain. Ia menyebut internet telah menjadi tempat bagi seseorang menjadi monster dan menghancurkan hidup orang lain hanya untuk bersenang-senang.
Psikolog menyebut trolling di internet itu terjadi karena online disinhibition effect, di mana faktor seperti anonimitas, ketidaktampakan, minimnya otoritas, dan tak harus bertemu seseorang melahirkan budaya kebencian. Seseorang bisa berkomentar semaunya, memaki, menghina, dan tidak punya adab.
Mengapa? Sesederhana karena ia ingin merasa superior atau mendapati bahwa menghina orang memberinya kepuasan. Orang yang melakukan tindakan memaki, menghina, sembari menikmati kebebasan internet ini disebut sebagai trolls: monster yang bersembunyi di kegelapan dan mengancam orang lain yang dianggapnya lebih rendah.
Trolls melakukan tindakan seperti menghina, membuat lelucon, melakukan pelecehan. Beberapa merekam dirinya sendiri dan berkomentar sangat kasar. Beberapa yang demikian jahat mempublikasikan data pribadi seperti rekening bank atau bahkan foto KTP.
Ada pula trolls menjadikan sosial media dan kolom komentar untuk lapangan hinaan, pamer pengetahuan, atau bahkan komentar kasar sembari merendahkan. Perempuan dalam hal ini kerap menjadi korban, mulai dari penampilan fisik sampai kehidupan pribadinya.
Dyhta Caturani mengatakan hingga kini kekerasan di internet terhadap perempuan masih belum diperhatikan. Beberapa menganggap kekerasan verbal atau tulisan daring (online) sebagai candaan atau sesuatu yang dianggap wajar. Padahal menurut Dyhta, kekerasan tersebut tidak sekedar kekerasan online atau kekerasan dunia maya atau siber, melainkan merupakan perpanjangan dari kekerasan yang sudah ada.
"Banyak yang berpendapat 'ngapain ngurusin online? [Kekerasan] offline juga banyak'. Tapi, keduanya punya akar yang sama," ujarnya.
Jenis-jenis kekerasan di ranah online, Dyhta menjelaskan, antara lain doxing (mempublikasikan data personal orang lain), cyber stalking (akan mencapai tahap mengerikan ketika mengetahui aktivitas offline), dan revenge porn (penyebaran foto/video dengan tujuan balas dendam dibarengi intimidasi/ pemerasan). Tujuan kekerasan tersebut, ditambahkannya, antara lain pemerasaan, pembungkaman dan eksploitasi seksual yang berdampak menimbulkan rasa takut yang dapat berpotensi pada kekerasan fisik secara offline.
Tahun lalu dalam acara "Wanita Bicara: Digital Sisterhood" diungkapkan bahwa hampir 75 juta pengguna internet di Indonesia dan usia anak-anak, yakni 12 sampai 18 tahun tercatat sebagai kelompok yang paling sering menggunakan internet.
Kelompok ini, menurut Digital Forensic Analyst and Information Security Consultant, Ruby Alamsyah, tak punya perlindungan dan pengawasan oleh orang dewasa. Pada kelompok usia inilah resiko cyber bullying yang dilakukan oleh trolls paling rentan terjadi.
Penelitian UNICEF dan Kominfo yang dirilis pada 2014 yang melibatkan 400 responden (usia 10-19 tahun) di 17 provinsi, juga menemukan bahwa anak-anak sangat rentan menjadi korban cyber bullying. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 dan 2012 dan melibatkan sampel yang representatif dari 400 anak-anak dan remaja dari daerah perkotaan dan pedesaan di 11 provinsi. Selanjutnya, diskusi kelompok terfokus yang diselenggarakan di Medan, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Balikpapan dan Jayapura. Para peneliti pun menyelenggarakan survei online pada akhir 2012 dan 2013 melalui Facebook dan Kaskus .
Penelitian itu mengungkapkan bahwa hanya persen responden menyadari risiko ditindas secara online, dan di antara mereka 13 persen telah menjadi korban selama tiga bulan sebelumnya. Contoh bullying yang disebutkan oleh responden meliputi nama ejekan dan sedang dipermainkan karena pekerjaan orang tua mereka (misalnya petani atau nelayan), atau penampilan fisik mereka, atau bahkan terancam online.
Anak-anak juga banyak yang tidak paham tentang keamanan dalam menggunakan media sosial, pentingnya pengamanan data pribadi, dan over sharing data personal. Anak-anak ini bisa dengan mudah membiarkan orang lain membaca email pribadi atau bahkan memiliki akses terhadap akun media sosial miliknya.
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Kaspersky Lab dan iconKids & Youth bertajuk "Growing Up Online–Connected Kids", ditemukan bahwa cyber bullying menjadi ancaman yang jauh lebih berbahaya bagi anak-anak daripada yang banyak orangtua perkirakan.
Cyber bullying adalah tindak intimidasi, penganiayaan atau pelecehan disengaja yang anak-anak dan remaja alami di internet. Menariknya, anak-anak berusia 8-16 tahun lebih waspada terhadap ancaman ini daripada orangtua mereka. Penelitian Kaspersky Lab menunjukkan hanya 13 persen anak-anak dan 21 persen orang tua yang menganggap hal tersebut tidak berbahaya.