tirto.id - Jagat politik kembali gaduh. Budiman Sudjatmiko dipecat dari PDIP, Kamis, 24 Agustus 2023. Pemecatan ini sudah diperkirakan sebelumnya setelah aktivis 90-an itu memilih jalan berseberangan dengan partainya. Ia mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Padahal, partai moncong putih sudah memiliki capres sendiri, Ganjar Pranowo.
Dua kali dalam dua bulan terakhir ini, Budiman bikin panas elite PDIP. Pekan lalu, Jumat, 18 Agustus 2023, ia mendeklarasikan Kelompok Relawan Prabowo-Budiman Bersatu (Prabu) di Semarang, Jawa Tengah. Sebulan sebelumnya, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu juga bertemu dengan Prabowo di Kertanegara, Jakarta.
Klimaks dari rentetan dua peristiwa itu adalah sanksi pemecatan dari PDIP. Ia menerima surat pemecatan dari partainya yang ditandatangani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri dan Sekjen Hasto Kristiyanto. "Benar sudah saya terima (surat pemecatan PDIP). Tadi pukul 20.00 WIB saya menerimanya," katanya.
Responsnya, Budiman justru berterima kasih kepada PDIP telah memberikan kesempatan berkecimpung di dunia politik. "Ini adalah pengakhiran dari satu episode dalam hidup saya dan memulai episode berikutnya. Bagian dari perjalanan saya sebagai manusia politik sejak saya remaja," katanya.
Tiga hari sebelum dipecat PDIP lewat surat yang dikirim via kurir ke rumahnya, Budiman sempat cerita panjang lebar terkait masa depan karier politiknya bersama PDIP di kantor Tirto, Selasa, 22 Agustus 2023 lalu. Budiman juga berbagi cerita terkait dukungannya ke Prabowo dan sikap aktivismenya.
Datang ke kantor Tirto, Budiman ditemani anak gadisnya. Sempat minta suguhan pisang goreng dan kopi Americano--tapi malah bawa sendiri--Budiman berulang kali menegaskan kalau sikap politiknya sudah terukur dan bisa menerima segala konsekuensinya.
Berikut ini petikan wawancaranya bersama tim Podcast Tirto, Restu Diantina, Muhammad Taufiq dan Andhika Krisnuwardhana di kantor Tirto:
Sebelum masuk ke dinamika terkini soal hubungan dengan PDIP, apa bedanya aktivisme zaman sekarang dengan yang dulu ketika gerakan aktivisme 90-an?
Tidak ada risiko yang menyangkut hidup dan mati, tidak sampai pada risiko survival, paling kalah. Kalau saat Orba itu kan risikonya 3B (Bui, Buang, Bunuh). Saya dapat risiko yang lebih rendah, dibui 3 tahun. Saya ‘diselamatkan’ oleh reformasi waktu itu, sehingga tidak jadi jomblo politik akut.
Anda melekat dengan label aktivis dan sekarang terjun politik, bagaimana ini apakah dalam upaya kompromi, ketika berada dalam lingkar kekuasaan, bagaimana sikap Anda?
Kompromi itu bukan pengkhinatan, tapi kompromi bagian dari konsekuensi demokrasi. Misal, pertanyaan soal kehendak berkuasa, saya pernah menunda tawaran jadi Gubernur DKI tahun 2012, dari pengusaha. Saya tolak, karena saya punya utang, waktu di Banyumas, saya janji untuk bawa UU Desa. Menurut saya, lebih prestisius mengegolkan UU Desa di mana 23 negara mencontohnya daripada menerima tawaran-tawaran itu.
Nah, kalau begitu melihat dinamika terakhir terkait pertemuan dengan Prabowo, itu hitung-hitungannya bagaimana ya?
Ini hitungannya ya dalam konteks politik global. Kita tahun 2020, menghadapi pandemi, itu periode terberat saat reformasi, ini menyebabkan banyak hal bergeser, kultur, teknologi, pendidikan. Ketika semua hal digoncang, dari kenegaraan hingga dapur digoncang, kita butuh ikatan yang kuat untuk Indonesia.
Dari sisi politik luar negeri, ancaman krisis pangan akibat perang Rusia-Ukraina, dalam situasi itu, bangsa ini butuh persatuan, menyolidkan lagi kebangsaan kita, tinggalkan polarisasi. Sebab, yang kita hadapi kan krisis-krisis.
Anda melihat ini bisa diselesaikan oleh Prabowo Subianto?
Persatuan nasional itu awalnya. Bahwa Pak Prabowo, itu kan soal-soal yang strategis, dari ketiga tokoh yang muncul, ketiganya punya kelebihan dan kekurangan. Pak Anies intelektualis, Pak Ganjar populis, Pak Prabowo sosok strategis. Sebab, Prabowo pernah menjadi pasukan elite, jarang ada politisasi yang ketika ada persoalan diinternalisasi.
Dalam 20 tahun reformasi, kita sudah melalui banyak guncangan dan krisis, saat ini kita harus berubah prioritas. Saya lebih suka disebut Budiman ini aktivis peradaban, maka saya melakukan pertemuan dengan Prabowo, yang 20 tahun lalu kita berhadapan, bertemu, demi peradaban. Ini biasa saja.
Lalu ini, sedang menunggu pengumuman [pemecatan dari PDIP]?Enggak, ya walaupun kontroversial, tapi ya memang harus berdinamika.
Kenapa harus declare dan jadi terkesan membelot dari partai?
Harus ada sikap supaya salah satunya itu, agar didengar. Tapi kan juga ada sense of urgency. Kalau tidak, saya khawatir jika kemenangan penerusnya tipis, secara mental itu pengaruh. Dan ini saya berkaca dari pengalaman di Brasil, Presiden Lula itu kan approval-nya tinggi, tapi penerusnya, kena impeachment di tengah-tengah.
Inilah pengalaman di banyak negara begini, kita jangan sampai ikutan, nanti selalu poco-poco, ke kanan ke kiri, tidak ada bargaining power di dunia internasional. Konsekuensinya, akan jadi negara yang berkembang terus, tak pernah naik level jadi negara maju. Saya enggak mau Indonesia jadi negara seperti itu, negara poco-poco.
Berarti siap dengan konsekuensinya [dipecat dari PDIP]?
Enggak akan sebesar saat Orde Baru, 3B (bui, buang, bunuh). Apakah ada konsekuensi administratif organisasional untuk saya ya saya terima saja. Yang jelas apa yang saya lakukan adalah menerjemahkan apa yang dikatakan Bu Mega soal kepemimpinan strategis. Saya enggak nyari presiden, saya nyari pemimpin.
Banyak yang bilang Budiman bakal jadi gelandangan politik, bagaimana tanggapan Anda?
Saya jadi tahanan politik aja pernah, ngapain takut jadi gelandangan politik. Kenapa orang nakut-nakutin saya dengan label superfisial.
Budiman tidak pernah menjadi gelandangan politik, saya akan selalu mendorong transformasi-transformasi yang memang sesuai dengan panggilan sejarah.