Belajar dari Kegagalan Foodpanda di Indonesia

Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara tirto.id - 24 Aug 2016 20:03 WIB
Diperbarui 19 Apr 2018 18:16 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Dalam beberapa tahun terakhir, e-commerce di kawasan Asia Tenggara tumbuh dengan kecepatan yang luar biasa. Potensi besar yang belum sepenuhnya tereksplorasi di kawasan ini menjadi pendorong utama dari pertumbuhan pesat tersebut. Akan tetapi, dalam waktu yang singkat pula, banyak start-up dengan latar belakang penyokong global mulai bertumbangan. Apa yang terjadi?

tirto.id - Pekan lalu, salah satu start-up yang mengkhususkan diri pada layanan pesan antar makanan, Foodpanda, mengumumkan akan menjual bisnisnya di Indonesia. Tidak berhenti di situ, mereka juga mengatakan akan mengevaluasi keseluruhan bisnis mereka di kawasan Asia Tenggara dengan alasan akan memfokuskan diri pada area yang memberikan profitabilitas lebih baik.

Perlu diketahui, Foodpanda bukanlah start-up kecil. Selain disokong oleh perusahaan start-up internet raksasa asal Jerman, Rocket Internet, Foodpanda juga hadir di 500 kota di seluruh dunia.

Pada akhir tahun lalu, Foodpanda mengumumkan bahwa mereka telah menjual bisnisnya di Vietnam pada rival lokalnya, Vietnammm.com.

Foodpanda tidak sendiri. Ada pula OpenRice yang nasibnya serupa tapi tak sama dengan Foodpanda.

Menurut laporan Dailysocial, meskipun belum secara resmi terkonfirmasi, start-up tersebut dikabarkan menutup kantor perwakilannya di Indonesia. Lini bisnis di Indonesia akan langsung berada di bawah kendali kantor pusatnya yang terletak di Hong Kong sejak Mei lalu, yang kemudian berujung pada dirumahkannya sejumlah karyawan.

Seperti Foodpanda, perusahaan di balik OpenRice juga bukanlah pemain kecil. Adalah JDB Holdings Limited perusahaan yang berada di belakang OpenRice. Sebagai catatan, JDB merupakan pemilik dari situs pencari kerja ternama JobsDB.com.

Sebelum kedua start-up tersebut, ada juga Rakuten yang memutuskan untuk keluar dari Indonesia awal tahun ini. Semua itu terjadi pada arena yang diprediksi akan memiliki potensi pertumbuhan luar biasa pada pasar digitalnya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Pasar Digital di Asia Tenggara

Pada bulan Mei lalu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Google bekerja sama dengan perusahaan investasi asal Singapura, Temasek, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi ekonomi internet senilai $200 miliar (Rp 2.652 triliun) – tumbuh dari market size sebesar $31 miliar pada 2015 – yang dapat dieksplorasi oleh para entrepreneur dan investor di bidang teknologi.

Yang patut menjadi perhatian adalah, nilai potensi tersebut hanya memperhitungkan tiga sektor, yakni sektor e-commerce tangan pertama (pembelian barang baru), travel (termasuk pemesanan hotel, tiket pesawat, dan layanan ride-hailing), serta media online (iklan dan gaming). Sementara sektor seperti pendidikan, layanan keuangan, dan pembelian tangan kedua (barang bekas) melalui platform e-commerce, masih tidak masuk dalam hitungan akibat terbatasnya data yang dapat diperoleh.

Penelitian tersebut memperkirakan ekonomi internet di Asia Tenggara akan melesat dengan pertumbuhan pengguna internet yang sudah terhubung (online) mencapai sekitar 124.000 pengguna per hari dalam lima tahun ke depan, atau 3,8 juta pengguna per bulan. Tingkat pertumbuhan tersebut membuat kawasan ini memiliki tingkat pertumbuhan pasar internet tercepat di dunia.

src="https://mmc.tirto.id/image/2016/08/24/ecommerce-011.jpg" width="860" /

Saat ini, sekitar 260 juta pengguna internet diperkirakan sudah online, menjadikan Asia Tenggara sebagai pasar internet terbesar ke-4 di dunia.

Dalam penelitian itu, total pengeluaran yang dilakukan dalam platform e-commerce di Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh 16 kali lipat pada tahun 2025 menjadi $88 miliar, dengan perkiraan total pasar retail sebesar $1,4 triliun, dari $5,5 miliar pada tahun 2015 lalu, dengan total pasar retail sebesar $0,7 triliun.

Indonesia diprediksi akan memegang peranan signifikan dengan penguasaan sekitar 52 persen pasar e-commerce di Asia Tenggara dengan nilai $46 miliar.

Sementara itu, layanan pemesanan hotel, tiket pesawat, dan ride-hailing diperkirakan tumbuh empat kali lipat pada 2025 mencapai sekitar $90 miliar.

Pendorong utama dari segala pertumbuhan tersebut adalah besarnya jumlah penduduk muda berusia di bawah 40 tahun (sekitar 70 persen), kecilnya jumlah pemain retail dan sulitnya akses terhadap toko-toko retail tersebut karena demografis wilayah yang banyak terdiri dari pulau-pulau, serta pesatnya pertumbuhan kelas menengah di mana Produk Domestik Bruto (PDB) diperkirakan tumbuh 5,3 persen dalam 10 tahun ke depan.

Data tersebut masih bisa terus berlanjut panjang, yang intinya mengungkapkan betapa aduhainya potensi yang dimiliki kawasan ini. Lantas, mengapa sejumlah pemain besar memilih untuk mundur?

Meski tidak dapat dipungkiri tumbuh dan tumbangnya adalah hal yang lazim ditemui pada lanskap bisnis apapun, oleh banyak pengamat, Asia Tenggara dianggap sebagai pasar yang unik. Selain memiliki tingkat pertumbuhan pasar digital yang luar biasa, kawasan ini juga memiliki karakteristik konsumen yang berbeda dibandingkan dengan kawasan seperti Cina, ataupun Amerika Serikat dan Eropa.

Fakta tidak dapat diingkari. Negara-negara Asia Tenggara terdiri dari berbagai macam etnis, bahasa, preferensi konsumer. Selain itu, masing-masing negara pun memiliki aturannya sendiri-sendiri. Dengan segala keberagaman tersebut, mau tidak mau start-up yang akan dan sedang bersaing dalam pasar kawasan ini harus beradaptasi.

Beberapa karakteristik unik tersebut tampak dalam sebuah riset yang dibuat oleh perusahaan konsultan manajemen Bain & Company. Dalam riset tersebut, mereka mencatat bahwa masyarakat Asia Tenggara cenderung lebih banyak menggunakan perangkat mobile dalam transaksi online mereka.

Salah satu platform e-commerce terbesar di Indonesia, Tokopedia, membuktikan keabsahan dari pernyataan tersebut. Seperti dikutip dari Tech in Asia, Co-founder dan Chief Executive Officer Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan terjadi perubahan tren belanja yang cukup signifikan dalam waktu yang relatif singkat.

Dua tahun lalu, 56 persen akses Tokopedia berasal dari perangkat mobile dan transaksi mobile hanya memiliki besaran 29 persen. Saat ini, 80 persen dari kunjungan berasal dari perangkat mobile dan transaksi mobile naik menjadi sebesar 74 persen.

Selain itu, poin penting yang perlu dicatat adalah tidak seperti kawasan lainnya yang lebih menyukai metode pembayaran non-cash, lebih dari sepertiga dari masyarakat Asia Tenggara lebih menyukai metode cash-on-delivery.

Dalam beberapa daerah, konsumen juga lebih memilih untuk mengambil sendiri barang pesanan mereka dibandingkan menggunakan metode pengiriman barang hingga tujuan yang dipilih (door-to-door delivery). Hal yang kemudian diadopsi oleh Mataharimall.com di Indonesia dengan menyediakan opsi pick-up point dalam layanan mereka.

Masyarakat Asia Tenggara juga senang untuk berinteraksi dengan para pedagang dalam melakukan transaksi. Survei dalam penelitian tersebut menunjukkan lebih dari 80 persen konsumer digital menggunakan media sosial untuk melakukan riset terhadap produk yang ingin mereka beli serta berinteraksi dua arah dengan pembeli.

Tokopedia menyadari hal tersebut dan membuat sistem di mana pembeli dan vendor dapat berdiskusi mengenai produk yang dijual. Bisa jadi, hal tersebut pulalah yang juga membuat Kaskus populer akan layanan jual belinya, sebab mereka menekankan pada interaksi antar pengguna platformnya. Sebuah keunggulan yang tidak dimiliki oleh pesaingnya seperti Lazada.

Yang cukup mengejutkan pula adalah masyarakat Asia Tenggara menempatkan pengalaman layanan dan pilihan yang bisa mereka peroleh (lebih dari 60 persen responden) di atas harga (45 persen) dalam membeli barang pada platform e-commerce.

Foodpanda yang Tergusur

Lalu bagaimana dengan Foodpanda? Seperti dikutip dari Techcrunch, perusahaan start-up tersebut memang mengakui bahwa kondisi pasar lokal yang sangat kompetitif berperan penting dalam keputusannya untuk "menarik diri" dari pasar Asia Tenggara, terutama di Indonesia.

Di Indonesia, Foodpanda menghadapi persaingan yang sangat ketat dari Go-Jek sebab mereka juga menyediakan layanan serupa melalui Go-Food. Start-up lain Grab juga mulai masuk dalam lini bisnis ini, sementara Uber juga dikabarkan akan segera menyusul.

Sebagai catatan, berdasarkan informasi yang diketahui tirto.id, layanan Go-Food merupakan lini bisnis yang disebut paling menguntungkan bagi Go-Jek. Dalam sebuah rilisnya pada awal bulan ini, Go-Jek mengklaim bahwa Go-Food merupakan layanan pengiriman makanan on-demand terbesar kedua di dunia di luar Cina dengan lebih dari 15 juta makanan telah diantarkan sejak awal kemunculannya.

Steven Kim, pendiri situs pencarian restoran Qraved, sendiri berpendapat, langkah yang diambil oleh Foodpanda tersebut merupakan bentuk dari gagalnya Foodpanda beradaptasi dengan kondisi lokal.

Seperti dikutip dari Tech in Asia, ia menilai, salah satu problem mendasar dari layanan pesan antar makanan di Indonesia adalah kecilnya jumlah pesanan yang dilakukan oleh para pengguna layanan. Masyarakat Indonesia cenderung membuat pesanan dalam jumlah kecil, sehingga untuk menutup biaya operasional, kuantitas pemesanan menjadi hal yang vital.

Untuk diketahui, Foodpanda mengharuskan besaran minimum nilai pemesanan dalam layanannya. Sebagai contoh, seseorang harus mengeluarkan minimal nominal Rp50.000 untuk dapat melakukan pemesanan. Apabila nominalnya kurang dari angka tersebut, maka secara otomatis nominalnya akan dinaikkan hingga menyentuh batas minimum.

Ke depan, boleh dikata kemampuan untuk berinteraksi dapat dikatakan akan memegang peranan penting dalam berhasil tidaknya start-up bertahan dalam ketatnya persaingan bisnis di pasar Asia Tenggara.

Dalam konteks start-up yang bergerak di bisnis makanan, Steven mengatakan, ke depan yang dapat bertahan dalam lingkungan bisnis tersebut adalah start-up yang mampu menggabungkan konten makanan, keterlibatan, serta pemesanan dan transaksi dalam sebuah platform tunggal.

Banyak start-up besar telah memetik pelajarannya, mari berharap start-up baru tidak jatuh pada lubang yang sama.

Baca juga artikel terkait Teknologi atau tulisan menarik lainnya Nurul Qomariyah Pramisti
(tirto.id - nqm/ign)

Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti