Bau Anyir Bisnis Impor Daging Sapi

Reporter: Suhendra tirto.id - 02 Feb 2017 09:05 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Bisnis impor daging sapi yang bernilai triliunan rupiah setiap tahun jadi kue empuk bagi para importir. Dalam beberapa tahun, bisnis ini dekat dengan beberapa kasus korupsi yang melilit pejabat hingga dugaan adanya praktik kartel.

tirto.id - “Sudah jadi pengetahuan umum di Indonesia selama bertahun-tahun jika Anda ingin mendapatkan apapun dari lembaga kepabeanan, perdagangan, pertanian, ini akan menjadi biaya buat Anda. Itu pasti.”

Petinggi perusahaan eksportir daging sapi Australia Barat, Managing Director Allegro Meat, Geoff Bull menyampaikannya dalam laman abc.net.au, 1 Februari 2013 lalu. Kala itu, ia merespons kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Bull termasuk yang percaya persoalan korupsi dalam rantai pasokan daging sesuatu yang lumrah di Indonesia.

“Saya tahu elemen di Indonesia, seperti KPK dan BPK, sedang bekerja keras untuk membersihkan korupsi di Indonesia,” kata Bull.

Berselang empat tahun, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar sedang mengulang sejarah kelam korupsi bisnis impor daging sapi. Meski dalam kasus yang berbeda, ada benang merah dari kedua kasus ini, campur tangan kekuasaan dan upaya melanggengkan “kue” bisnis impor daging sapi yang besar. Patrialis diduga menerima suap dari importir sapi Australia terkait uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan.

“Dari bulan tujuh atau delapan (2016) saya sudah bertemu dan bicara (dengan Patrialis), saya juga menyampaikan keluhan-keluhan soal peternak yang akan kolaps karena banyak daging India yang masuk. Saya juga impor daging dari Australia yang lebih mahal, ini juga yang mengganggu bisnis saya, hanya itu saja kepentingan saya," kata Direktur Utama PT Sumber Laut Perkasa dan PT Impexindo Pratama Basuki Hariman, sebagai pihak yang diduga menyuap, dikutip dari Antara.

Mengamankan kepentingan bisnis seperti yang ditempuh Basuki Hariman memang masuk akal. Bisnis impor daging sapi dan sapi hidup jadi lahan basah yang sangat menggiurkan. Kementerian Pertanian (Kementan) pada 2014 mencatat impor daging sapi mencapai $358 juta atau setara Rp4,7 triliun, sedangkan impor sapi hidup $681 juta atau sekitar Rp9,1 triliun.

“Suplai daging lokal kita masih belum mampu memenuhi kebutuhan pasar karena keterbatasan populasi sapi yang kita miliki. Dengan demikian bisnis impor daging menjadi peluang yang menggairahkan bagi para importir,” kata Ketua Komite Daging Sapi Jakarta Sarman Simanjorang kepada Tirto.

Semenjak pertengahan tahun lalu, bisnis para importir sapi dari Australia memang mulai terancam ketika pemerintah mencoba memanfaatkan pasokan impor daging dari luar Australia untuk meredam harga daging sapi yang tak terkontrol, termasuk pasokan dari India. Ini terjadi semenjak UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang direvisi dua tahun lalu--jadi UU No 41 tahun 2014. Konsekuensinya, impor ternak dan daging dari negara yang belum bebas penyakit hewan menular (zone based) jadi terbuka lebar.

Para importir daging sapi Australia tentu harus berhadapan dengan Bulog sebagai entitas bisnis yang punya kuasa mengimpor daging dan ternak sapi-kerbau termasuk dari India, yang mengacu dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan. Tujuannya untuk meredam lonjakan harga dan keterbatasan stok daging di dalam negeri, karena terbatasnya pasokan sapi lokal.

Di saat bersamaan, kelompok masyarakat seperti Teguh Boediyana, Mangku Sitepu, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), dkk dan Hermawanto, dengan alasan menjaga kepentingan peternak lokal mengajukan judicial review pasal 36 C, D, dan E pada UU No. 41 Tahun 2014. Di sinilah dugaan awal suap terjadi, importir daging sapi seperti Basuki Hariman mencoba memperlancar upaya dari para pihak yang mengajukan uji materil. Tujuannya hanya satu, agar aturan main bisa kembali seperti dikehendaki para importir—membeli daging sapi dari Australia dan menutup ruang impor daging di luar Australia yang memang bebas penyakit hewan menular (country based).

“Saya nggak tahu menahu tentang dia, saya nggak ngerti. Yang jelas dia importir. Target saya yang jelas melindungi peternak lokal dari PMK (penyakit mulut dan kuku). Kalau targetnya Basuki, tanya ke Basuki! Saya nggak ngerti, nggak kenal,” kata Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana kepada Tirto.

Dugaan suap yang melibatkan Patrialis Akbar bagian dari pertunjukan layar lebar dari para pemburu rente di bisnis daging sapi impor yang tak mau terusik kue bisnisnya. Cerita yang juga sama terjadi kepada 32 importir sapi hidup (feedloter) yang tahun lalu telah terbukti melakukan kartel oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kini, indikasi serupa juga sedang mengarah ke hidung para importir daging sapi.

src="https://mmc.tirto.id/image/2017/02/01/djdjdjd.jpg" width="860" alt="INFOGRAFIK Swasembada daging" /

Aroma Kartel Daging Sapi

Ide awal dibukanya impor daging dan ternak sapi-kerbau dari negara-negara yang belum bebas dari penyakit hewan menular seperti India, adalah untuk meredam harga daging sapi yang selama beberapa tahun terakhir bertahan tinggi di pasar domestik. Di sisi lain, importir seperti Basuki Hariman berupaya mempertahankan dominasi pasokan daging dari Australia yang terindikasi bagian dari kartel bisnis impor daging sapi.

Saat KPK melakukan penggeledahan di gedung CV Sumber Laut Perkasa di Sunter, Jumat (27/1/2017), penyidik KPK menemukan 28 cap atau stempel yang bertuliskan nama kementerian dan organisasi internasional terkait dengan impor daging sapi.

Seperti dikutip dari Antara, ragam stempel itu yaitu stempel Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, label halal dari negara pengekspor daging seperti "Austalian Halal Food Services", "Islamic Coordinating Council of Victoria", Queensland, Kanada, dan Cina.

"Iya, dia itu kartel. Lihat saja kita dapatkan 28 stempel di perusahaannya itu. Jadi itu mereka penguasa daging sapi," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.

CV Sumber Laut Perkasa yang dipimpin Basuki, bukan perusahaan importir kemarin sore. Berdasarkan data kementan, Sumber Laut Perkasa salah satu dari 67 importir daging sapi yang terdaftar, termasuk PT Indoguna Utama yang terlibat dalam kasus suap pada 2013 lalu yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq.

Bila ditarik benang merahnya, kasus-kasus korupsi terkait impor daging sapi tak terlepas dari upaya pengendalian kuota impor daging sapi pada 2011. Pemerintah waktu itu ingin mencapai target swasembada daging sapi pada 2014, meski pada akhirnya belum pernah kesampaian hingga kini. Saat itu, para importir mulai terusik, hingga melahirkan kasus korupsi kuota impor daging sapi di 2013.

Ironisnya, ketika harga daging sapi tak terkendali akibat program swasembada yang gagal total dan memunculkan kebijakan pengendalian harga dengan mencari sumber impor alternatif, kasus korupsi baru malah muncul. Ini semakin memperkuat dugaan kartel daging sapi impor yang menjadi pekerjaan rumah yang harus dibongkar. Agar “bau anyir” dari bisnis impor daging sapi tak hanya tercium tapi bisa dibuktikan. Tentunya menjadi tugas berat bagi KPPU, termasuk KPK pada perkara korupsi di bisnis impor daging sapi yang gemuk.

Baca juga artikel terkait Daging Impor atau tulisan menarik lainnya Suhendra
(tirto.id - dra/dra)

Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti