Bagaimana Dana Asing Kabur di Tengah Krisis Turki dan Bangkitnya AS

Penulis: Ringkang Gumiwang tirto.id - 16 Aug 2018 12:24 WIB
Diperbarui 20 Aug 2018 23:00 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Apa yang terjadi di pasar modal sebagian mempengaruhi sendi ekonomi seperti nilai tukar. Ironisnya, pelaku pasar modal dikendalikan oleh segelintir orang termasuk pelaku asing.

tirto.id - Kondisi terkini Turki yang mengalami krisis mata uang menjadi sorotan para pelaku pasar modal. Nilai mata uang lira Turki terhadap dolar sejak awal tahun hingga 13 Agustus 2018 anjlok sekitar 40 persen.

Penyebab lira yang anjlok terendah sepanjang sejarah ini di antaranya ada kekhawatiran atas kebijakan ekonomi yang diusung pemerintah Turki, utang luar negeri yang mencapai ratusan miliar dolar AS, hingga hubungan dagang antara AS dan Turki yang kian memanas.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sempat menuduh AS sebagai biang kerok dari ambruknya nilai tukar lira terhadap dolar AS. “Turki tengah menghadapi serangan ekonomi. Kami akan mengambil langkah yang diperlukan untuk melawan serangan ini, dan akan terus melakukannya” katanya dikutip dari ITV News.

Presiden Donald Trump sebelumnya mengambil keputusan untuk menaikkan tarif impor besi dan aluminium dari Turki. Untuk aluminium, Trump menaikkan tarif impor hingga 20 persen, dan untuk tarif impor besi sebesar 50 persen.

Namun, mata uang lira yang ambruk juga bukan serta merta salah AS juga, fundamental ekonomi Turki juga rapuh. Defisit transaksi berjalan Turki tercatat lebih dari 6 persen, dan inflasi hampir menyentuh 20 persen.

Berbagai sentimen negatif yang tengah dihadapi Turki tersebut, membuat pelaku pasar modal resah. Konsultan Brown Brothers Harriman & Co. in New York Win Thin bahkan meminta pasar untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk.

“Jika melihat kondisi saat ini, pasar perlu bersiap-siap menghadapi ekonomi yang ambruk, korporasi yang gagal membayar utang asing hingga kegagalan perbankan,” tutur Win Thin dikutip dari Bloomberg.

Kekhawatiran pasar modal terhadap ekonomi yang bergejolak di Turki ini juga membuat indeks saham Turki terperosok. Menurut Yahoo Finance, indeks BIST100 anjlok 21 persen sepanjang tahun berjalan ini ke level 93.256,.

Kekisruhan ekonomi yang melanda Turki tidak menutup kemungkinan efeknya akan juga dirasakan oleh negara-negara lainnya, terutama dari negara berkembang. Menurut President of Investment Advisory Firm ClientFirst Strategy Mitch Goldberg, pasar modal di negara-negara berkembang saling terkait satu sama lain. “Karena ETF, seluruh pasar modal di negara berkembang menyatu menjadi sektor,” tuturnya dikutip dari CNBC.

ETF atau Exchange Traded Fund adalah reksa dana yang diperdagangkan di bursa efek. ETF merupakan kontrak investasi kolektif yang unit penyertaannya dicatat dan diperdagangkan di bursa efek, seperti halnya saham. Oleh karena itu, Indonesia yang juga sebagai negara berkembang terkena imbas dari krisis Turki. Saat lira anjlok terendah sepanjang sejarah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 3,55 persen ke level 5.861 pada 13 Agustus 2018.

Keluarnya Dana Asing

Melorotnya IHSG sudah terasa sejak awal 2018. Krisis nilai tukar lira terhadap dolar AS hanyalah satu dari sekian banyak sentimen yang ikut berpengaruh negatif terhadap pergerakan IHSG. Sejak awal tahun hingga 15 Agustus 2018, IHSG sudah anjlok 8,48 persen ke level 5.816,. Kalangan analis berpendapat penurunan IHSG ini disebabkan tingginya aliran modal yang keluar (capital outflow), terutama asing. Jumlah investor asing tercatat 23.272 investor, terdiri dari 14.127 institusi dan 9.145 orang. Jumlah investor lokal tercatat 1,34 juta investor, yang terdiri dari 11.691 institusi dan 1,33 juta orang.

Meski hanya segelintir orang, nilai kepemilikan dana mereka di pasar modal sangatlah besar. Investor domestik menyumbang 59 persen atau Rp2.558 triliun dari total Rp4.371 triliun per 20 Juli 2018. Sisanya, sebesar 41 persen dimiliki investor asing. Bila dana mereka keluar maka akan mempengaruhi pasar modal.

Menurut Investopedia, aliran modal keluar adalah perpindahan aset dari suatu negara. Bagi suatu negara, modal yang keluar tidak diinginkan karena sering membuat ketidakstabilan politik dan ekonomi. Berdasarkan aplikasi RTI Business, aliran modal asing yang keluar sepanjang tahun berjalan ini sudah mencapai Rp50 triliun. Apabila ditarik dalam periode setahun, aliran modal yang keluar sudah menembus angka Rp100 triliun.

Deklarasi dua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pekan lalu juga tidak mampu menahan aliran modal keluar. Pada 10 Agustus 2018, nilai bersih aliran modal yang keluar mencapai Rp650 miliar.

Banyak faktor yang menyebabkan investor asing menarik asetnya dari pasar modal Indonesia, mulai dari rencana bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan, nilai tukar dolar AS yang terus menguat hingga soal timing untuk ambil untung (profit taking).

The Fed terus menaikkan suku bunga acuannya sejak 2015. Bank sentral AS in menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 7 kali. Saat ini, suku bunga acuan The Fed bertengger di level 2 persen. The Fed juga dikabarkan masih akan menaikkan kembali suku bunga acuannya. Jika tidak ada aral melintang, The Fed bakal menaikkan suku bunga acuannya (interest rate) hingga 7 kali sampai dengan 2020.

“Dengan kondisi The Fed yang agresif menaikkan suku bunga acuannya, mau tidak mau akan ada ruang untuk capital outflow,” kata Alfred Nainggolan, Kepala Riset PT Koneksi Kapital, kepada Tirto.

Ruang untuk melebarnya aliran modal yang keluar juga kian besar lantaran terdapat sentimen negatif dari makro domestik, yakni membengkaknya defisit transaksi berjalan menjadi US$8 miliar pada kuartal II-2018, dari sebelumnya US$5,7 miliar pada kuartal I-2018.

Penyebab membengkaknya defisit transaksi berjalan menjadi 3 persen dari PDB disebabkan beberapa hal, antara lain seperti menipisnya surplus neraca perdagangan dari nonmigas, dan melebarnya defisit neraca perdagangan migas. Kondisi demikian dan adanya aliran dana asing makin membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar terus tertekan. Per 14 Agustus 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar sudah mencapai Rp14.625 per dolar AS, melemah 8 persen sejak awal tahun ini.

Nilai tukar dolar terhadap mata uang dunia yang kuat juga membuat AS kian menarik di mata investor untuk menjadi sebagai safe haven. Apalagi, Presiden AS Donald Trump juga agresif dalam membangkitkan ekonomi AS. “Jadi pilihan yang cukup logis kalau aliran dana asing masuk ke AS. Apalagi, peluang nilai tukar dolar untuk menguat ke depannya semakin besar. Saat ini sudah ada kok yang masuk ke AS,” ujar Alfred.

Namun, tidak menutup kemungkinan aliran dana asing yang ‘lari’ dari Indonesia juga bisa masuk ke negara-negara lainnya. Sepanjang tahun berjalan ini, terdapat sejumlah indeks yang mencatatkan kinerja positif selain AS yang naik 2,35 persen. Indeks-indeks itu antara lain seperti India yang naik 11 persen, Norwegia tumbuh 12 persen, Qatar 13 persen, Rusia 7 persen, Arab Saudi 9 persen, Israel 4,5 persen, Brasil 2,88 persen, Australia naik sebesar 4 persen.

Bicara soal nilai tukar dolar, tidak bisa dipungkiri the greenback saat ini menjadi salah satu mata uang yang dianggap safe haven di kondisi global yang tidak menentu ini. Kondisi ini juga didorong data ekonomi AS di bawah Trump juga terus membaik.

Dikutip dari Antara, jumlah lowongan kerja naik tipis menjadi 6,6 juta pada Mei 2018. Lalu, indeks optimisme bisnis kecil AS turun 0,6 poin menjadi 107,2 pada Juni. Meski turun, angka ini dianggap masih tinggi karena pemilik bisnis terus menciptakan lapangan kerja baru.

src="https://mmc.tirto.id/image/2018/08/07/infografik-kaburnya-dana-asing--mild--quita.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Kaburnya Dana Asing" /

Regulator di Indonesia tak tinggal diam, Bank Indonesia (BI) juga mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menahan aliran modal asing yang keluar dari pasar modal yakni dengan menaikkan suku bunga acuan. Hingga saat ini, Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga acuan hingga tiga kali. Dari sebelumnya 4,25 persen, naik menjadi 4,5 persen pada 17 Mei. Kemudian naik lagi menjadi 4,75 persen pada 30 Mei, dan menjadi 5,25 persen pada 29 Juni, dan terakhir pada Kamis (15/8), bunga acuan BI naik jadi 5,5 persen.

“Kenaikan tingkat bunga adalah keputusan yang tepat untuk mencegah risiko,” kata Direktur Departemen Asia & Pasifik dari International Monetary Fund (IMF) Changyong Rhee dikutip dari Antara.

Jurus menaikkan bunga acuan untuk periode tertentu memang terasa efeknya. Perlahan-lahan aliran modal yang keluar masuk kembali. Enam bulan pertama 2018, aliran modal asing yang keluar mencapai sekitar Rp52 triliun, dan mulai berkurang menjadi sekitar Rp48 triliun pada 10 Agustus 2018.

Namun, kenaikan suku bunga acuan oleh BI juga berpotensi memengaruhi geliat ekonomi domestik. Seperti diketahui, kenaikan suku bunga acuan juga akan mengerek bunga kredit, baik untuk sektor usaha maupun konsumsi.

Dengan kata lain, biaya yang harus dikeluarkan pelaku usaha saat pengajuan kredit akan lebih tinggi ketimbang sebelumnya. Begitu juga dengan kredit konsumsi, masyarakat bisa-bisa membayar biaya bunga yang lebih besar dari sebelumnya. Tak menutup kemungkinan, geliat ekonomi terganggu.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2018 cukup baik, yakni sebesar 5,27 persen, mendekati target pertumbuhan ekonomi dalam asumsi APBN 2018 sebesar 5,4 persen.

Cadangan devisa memang masih aman meski menurun karena operasi pasar valuta asing untuk meredam dolar AS. Hingga akhir Juli 2018, cadangan devisa tercatat sebesar US$118,3 miliar. Posisi cadangan devisa itu setara dengan pembiayaan 6,7-6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar pemerintah, atau di atas standar internasional 3 bulan impor.

Pasar modal tak terpisahkan dengan ekonomi setidaknya sebagai etalase kondisi ekonomi suatu negara. Apa yang terjadi pada ekonomi global dan kondisi ekonomi negara akan terefleksi dari sentimen investor di pasar modal, termasuk dari para investor asing yang bisa kapan saja membawa uangnya ke luar. Fundamental ekonomi yang lebih kuat terefleksi dari kekuatan sektor riil dari ekspor yang kuat, nilai tambah industri, dan tak mudah bergantung pada impor barang dan jasa adalah jawaban

Baca juga artikel terkait Pertumbuhan Ekonomi atau tulisan menarik lainnya Suhendra
(tirto.id - dra/rgw)

Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra