tirto.id - Kabar kepunahan pisang menyeruak pada pertengahan 2016 lalu. Bukan pisang sembarang pisang, namun khusus jenis Cavendish. Jenis ini merupakan hasil kultivar monokultur baru dan yang paling populer di pasaran dunia. Anda akan mudah menjumpai pisang jenis ini di toko buah pinggir jalan untuk diborong, dikemas dalam wadah yang menarik di toko swalayan modern, atau dijual satuan di minimarket terdekat untuk sarapan sekaligus jajan sehat ala millenial.
Bentuk Cavedish merepresentasikan pisang yang sempurna dalam imajinasi orang-orang. Warnanya yang kuning cerah yang memikat banyak konsumen. Meski rasanya relatif hambar—malah cenderung asam, hampir tak beraroma, dan teksturnya kering, Cavendish menguasai 95 persen perdagangan pisang dunia. Berkat sistem monokultur untuk menjamin keseragaman, pengolahan, dan distribusinya yang selalu baku, pasokan Cavendish awet membanjiri pasar dan mengalahkan pisang-pisang jenis lain.
Pada 1992 sumber penyebab kepunahan Cavendish muncul dengan nama wabah Panama generasi baru. Ia dibawa oleh Tropical Race 4 (TR4), yakni subtipe jamur Fusarium, yang pertama kali menyasar area perkebunan Cavendish di Taiwan. Wabah Panama yang kemudian berkolaborasi dengan wabah Black Sigatoka, kemudian menyebar secara perlahan ke negara-negara tetangga seperti Cina, Australia bagian Utara, Papua Nugini, Malaysia, dan tak ketinggalan Indonesia.
Kurang lebih ada sepuluh ribu hektare perkebunan Cavendish yang musnah di kawasan Asia Pasifik. Kerugian yang musti dibebankan pada petani dan distributor $400 juta lebih. Hingga tahun lalu wabah Panama masih menyebar dan kian mengkhawatirkan. Pada April 2016, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) mendesak para pelaku industri pisang agar segera menghentikan wabah tersebut.
Bagaimana Cara Menghentikan Wabah?
Tiga orang yang berusaha menjawab pertanyaan ini di antaranya Ioannis Stergiopoulus, Andre Drenth, dan Gert Kema. Ioannis adalah asisten profesor di bidang patologi tanaman di University of California. Andre adalah profesor bidang agrikultur dan sains makanan di University of Queensland, sedangkan Gert adalah profesor spesial Filopatologi di Wageningen University. Ketiganya berkolaborasi menganalisis permasalahan ini dan mempublikasikan paparannya di laman The Conversation dan dilaporkan ulang di The Guardian.
Hal pertama yang disoroti ketiganya adalah sejarah kelam pisang jenis Gros Michel alias pisang ambon. Dulu pisang jenis ini hingga era 1960-an menjadi primadona, persis Cavendish era kekinian. Pisang yang juga dikenal dengan nama “Big Mike” ini menghuni perkebunan-perkebunan besar di berbagai negara berkembang seperti Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Saking tingginya permintaan, ada berhektar-hektar hutan tropis di Amerika Latin dibabat demi meluaskan kebun baru.
Sayang, wabah Panama kemudian menyerang Gros Michel dan mengakhiri masa kejayaannnya dalam sekejap. Sistem penanaman, pengolahan, dan pendistribusian Gros Michel serupa dengan Cavendish, yakni dengan gaya monokultur. Saat jamur Fusarium menggerogoti akar dan bagian dalam batang pisang, kematian pohon akan menyebar dari satu ke yang lain.
Fusarium amat susah dikontrol. Ia mampu menyebar dengan mudah di tanah, air, dan menginfeksi bagian-bagian tanaman. Penanggulangan secara kimiawi di tanah atau batang pohon pisang terbukti tak efektif untuk menekan mewabahnya jamur. Ia juga mampu bertahan di dalam tanah selama beberapa dekade dan membuat kawasan perkebunan lama tak bisa ditanami lagi.
Ioannis dan kawan-kawan kemudian belajar bahwa ketergantungan pada buah hasil monokultur dari rekayasa genetik yang seragam adalah strategi yang amat beresiko dan rentan menghadapi kegagalan. Untuk mengurangi kerentanan buah atas penyakit berbahaya sekaligus tetap menyokong ketersediaan pisang di pasar, perlu adanya keragaman genetik dalam budidaya pisang global.
Lebih seribuan spesies pisang liar telah teridentifikasi. Meski sebagian besar tak memiliki karakteristik agronomi—produk berkualitas tinggi tanpa biji, buah non-asam, atau berumur panjang—mereka bisa menjadi calon pengganti Cavendish di masa depan. Mereka memiliki sumber genetis yang belum dimanfaatkan dan bisa dipakai ilmuwan untuk sumber ketahanan serta sifat lain yang diinginkan ada pada buah pada program pemuliaan.
Kini, kata Ioannis, upaya untuk mengoleksi, melindungi, mengkarakteristikkan serta memanfaatkan pisang liar memang ada, namun masih dalam proyek kecil-sedang. Akibatnya industri pisang genetik kalah jauh ketimbang varietas buah-buahan lain yang telah diproduksi secara massal dan tak terpaku pada satu jenis saja. Selama beberapa dekade, pemuliaan tanaman pisang masih mengandalkan satu jenis saja untuk memenuhi kebutuhan pasar. Bahasa lainnya, monopoli produksi.
Ioannis dan kawan-kawan tak patah arang. Mereka telah menapakkan langkah penganggulangan yang pertama dengan mengekslorasi urutan genom pisang dan jamur penyebab penyakit layu baik Fusarium dan Black Sigatoka. Studi tersebut diharapkan mampu mencerahkan permasalahan tentang mekanisme molekuler dimana kedua jenis jamur itu menggerogoti tubuh pohon piisang. Jika berhasil, maka akan mudah untuk mengidentifikasi gen tahan penyakit dalam pisang liar untuk kemudian dibudidayakan secara massal.
Para peneliti kini telah memiliki alat untuk mengidentifikasi gen pertahanan pada pisang liar atau spesies tanaman lain. Mereka dapat menggunakan pemuliaan tanaman metode klasik atau rekayasa genetika untuk mentransfer gen tersebut ke dalam kultivar yang diinginkan. Para ilmuwan pun bisa memakai alat tersebut untuk mempelajari dinamika dan evolusi patogen pisang di alam dan memantau perlawanannya kepada jamur-jamur penyakit.
Urutan genom yang rinci berkat ketersediaan alat tersebut ditambah dengan penelitian visioner dan berjangka panjang untuk rekayasa genetika serta pemuliaan tanaman, akan membantu kita dalam mengikuti patogen yang saat ini mengancam pisang Cavendish. Pada akhirnya, kata Ioannis dan kawan-kawan, sudah mendesak keperluan untuk meningkatkan “kolam keragaman” genetik dalam pisang sehingga tak terlalu bergantung pada klon tunggal.
Permintaan Tinggi
Jika sejarah Cavendish dan Gros Michel berulang, tak ada yang lebih dirugikan ketimbang konsumen setia sedunia. Di kawasan pinggir kota hingga pedesaan, pisang Cavendish kurang populer. Cavendish lebih dikenal di area perkotaan dan menjadi konsumsi kaum urban. Sementara di kawasan non-urban, varietas pisang yang dijual di pasar atau toko buah lebih beragam dan lokal sehingga tak perlu mengandalkan produksi massal dari buah monokultur seperti Cavendish.
Untuk memenuhi hasrat penduduk sedunia akan pisang, produksi buah yang satu ini meningkat terus setiap dekade. Di tahun 1960-an produksi pisang mencapai 30 juta ton/tahun dan memang mengalami sedikit penurunan pada era 1970-an. Namun setelahnya produksi pisang menanjak naik, seperti di akhir 1980-an yang mencapai 45 juta ton/tahun. Angkanya berubah menjadi 60 juta ton/tahun di pertengahan era 1990-an dan melonjak drastis menjadi kurang lebih 100 juta ton/tahun di awal 2010. Kini, 17 tahun setelahnya, ia telah melampaui angka 120 juta ton/tahun, demikian data dari FAO.
FAO mengestimasi produksi pisang naik sebesar 30 persen sejak era 1990-an, sebagian besar disumbang oleh produksi melimpah Cavendish. Nilai total perdagangan internasional pisang berkisar di antara $4,5 juta hingga $5 juta per tahun. Pundi-pundi uang ini di tahun 2000 dihasilkan dari lahan seluas 9 juta hektar dengan rata-rata produksi 92 juta ton/tahun dari 1998-2000 saja. Setahun setelahnya meningkat menjadi 99 juta ton/tahun. Tren kenaikan masih terjadi hingga kini.